Halaman

Minggu, 16 Oktober 2016

Kemelut Politik dan Ketetapan Hati Umat Islam



Kemelut Politik dan Ketetapan Hati Umat Islam

Daya, semangat dan kinerja ideologi umat Islam. Islam dan agama Islam di Indonesia selalu diuji oleh sistem politik, khususnya sebagai negara multipartai. Bukan pada banyaknya partai politik berlabel Islam sebagai pertanda melek politik atau matangnya jiwa politik. Bukan pula pada banyaknya tokoh beragama Islam yang ikut pesta demokrasi, khususnya pemilihan umum legislatif. Juga bukan pada eksisnya organisasi kemasyarakatan Islam yang berkiprah di bidang kehidupan umat.

Umat Islam belum menyadari akan arti penduduk mayoritas beragama Islam. Makna demokrasi berdasarkan perolehan suara terbanyak yang menentukan pemenang, tidak diantisipasi dengan cerdas. Kursi kekuasaan sebagai tujuan utama, tidak melihat hakikat dari amanahnya. Ironisnya, konflik internal di tubuh partai Islam, seperti menjadi menu politik. Sebagai bukti dinamika partai yang tidak pernah surut.

Saat hasil pilkada menghadirkan pasangan tidak seakidah, atau pasangan ganda campuran akidahnya, umat Islam terkadang masih adem-ayem bin tentrem. Ketika umat Islam atau rakyat papan bawah bergerak akibat kebijakan pemerintah daerah yang tebang pilih, serta merta dianggap gerakan radikal, anarkis dan di zaman Orde Baru masuk stigma anti kemapanan. Geliat Islam yang tampak sporadis, mengacak, yang menelan korban, oleh kedigdayaan negara adikuasa melalui perpanjangantangannya di NKRI dianggap teroris. “Matikan teroris di tempat” menjadi proyek abadi aparat keamanan.

Ternyata ketika barisan pembantu presiden tidak dijabat mayoritas umat Islam, hanya disikapi dengan ujar hujat. Ketika peraturan daerah yang mengatur penerapan syariah Islam yang sudah melebur, menyatu dengan budaya lokal, kecerdasan lokal, kearifan lokal  dianggap meresahkan, maka kementerian dalam negeri otomatis akan mencabutnya.

Saat hati nurani umat Islam diuji untuk menggunakan hak pilihnya pada pencoblosan di pesta demokrasi, banyak kandidat yang beragama Islam, pertimbangan apa yang dipakai. Umat Islam tidak bisa menentukan mana yang Islam banget dengan mana yang Islam saja. Melihat gambar, kandidat pria memakai kopiah sebagai ciri orang Indonesia.

Masih ingat sinyelemen utawa ngudal piwulang ki dalang Sobopawon, di era mégatéga, mégakasus, mégabencana 2014-2019 negara yang serba multi, penduduk Indonesia akan melihat ulah laku, tingkah laku, perilaku penyelenggara negara dari dan atau sebagai pelaku, pekerja, petugas partai, masuk ketegori samimawon. Artinya tidak ada perbedaan yang signifikasn antara yang Islam banget dengan yang Islam saja.

Sebetulnya, masih banyak isi perut yang akan disampaikan ki dalang. Cuma waktu tayang mau habis. Kita istirahat sejenak. Ambil dan tarik nafas panjang. Layangkan mata ke dunia nyata. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar