Kemelut Politik dan Ketetapan Hati
Umat Islam
Daya, semangat dan kinerja ideologi umat Islam. Islam dan
agama Islam di Indonesia selalu diuji oleh sistem politik, khususnya sebagai
negara multipartai. Bukan pada banyaknya partai politik berlabel Islam sebagai
pertanda melek politik atau matangnya jiwa politik. Bukan pula pada banyaknya
tokoh beragama Islam yang ikut pesta demokrasi, khususnya pemilihan umum legislatif.
Juga bukan pada eksisnya organisasi kemasyarakatan Islam yang berkiprah di
bidang kehidupan umat.
Umat Islam belum menyadari akan arti penduduk mayoritas beragama
Islam. Makna demokrasi berdasarkan perolehan suara terbanyak yang menentukan
pemenang, tidak diantisipasi dengan cerdas. Kursi kekuasaan sebagai tujuan
utama, tidak melihat hakikat dari amanahnya. Ironisnya, konflik internal di
tubuh partai Islam, seperti menjadi menu politik. Sebagai bukti dinamika partai
yang tidak pernah surut.
Saat hasil pilkada menghadirkan pasangan tidak seakidah,
atau pasangan ganda campuran akidahnya, umat Islam terkadang masih adem-ayem bin tentrem. Ketika umat Islam
atau rakyat papan bawah bergerak akibat kebijakan pemerintah daerah yang tebang
pilih, serta merta dianggap gerakan radikal, anarkis dan di zaman Orde Baru
masuk stigma anti kemapanan. Geliat Islam yang tampak sporadis, mengacak, yang
menelan korban, oleh kedigdayaan negara adikuasa melalui perpanjangantangannya
di NKRI dianggap teroris. “Matikan teroris di tempat” menjadi proyek abadi
aparat keamanan.
Ternyata ketika barisan pembantu presiden tidak dijabat
mayoritas umat Islam, hanya disikapi dengan ujar hujat. Ketika peraturan daerah
yang mengatur penerapan syariah Islam yang sudah melebur, menyatu dengan budaya
lokal, kecerdasan lokal, kearifan lokal dianggap meresahkan, maka kementerian dalam
negeri otomatis akan mencabutnya.
Saat hati nurani umat Islam diuji untuk menggunakan hak
pilihnya pada pencoblosan di pesta demokrasi, banyak kandidat yang beragama Islam,
pertimbangan apa yang dipakai. Umat Islam tidak bisa menentukan mana yang Islam
banget dengan mana yang Islam saja. Melihat gambar, kandidat pria memakai
kopiah sebagai ciri orang Indonesia.
Masih ingat sinyelemen utawa ngudal piwulang ki dalang Sobopawon, di era mégatéga, mégakasus, mégabencana 2014-2019
negara yang serba multi, penduduk Indonesia akan melihat ulah laku, tingkah
laku, perilaku penyelenggara negara dari dan atau sebagai pelaku, pekerja,
petugas partai, masuk ketegori samimawon.
Artinya tidak ada perbedaan yang signifikasn antara yang Islam banget dengan yang
Islam saja.
Sebetulnya, masih banyak isi perut yang akan disampaikan
ki dalang. Cuma waktu tayang mau habis. Kita istirahat sejenak. Ambil dan tarik
nafas panjang. Layangkan mata ke dunia nyata. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar