efek domino revolusi mental, sandiwara politik vs politik sandiwara
Indonesia pernah
mempunyai sebutan penguasa tunggal Orde Baru.
Lewat 6 kali pemilu, atas kehendak rakyat tetap bisa menjabat sebagai
presiden, kepala negara, mandataris MPR atau predikat lainnya. Atas kehendak
rakyat pula, melalui kekuatan rakyat (people
power) dari berbagai elemen masyarakat, turun ke jalan. Puncak gerakan
rakyat ketika beberapa hari menduduki puncak atau atap gedung MPR-DPR di
ibukota negara.
Tepatnya, 21 Mei
1998, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan sebagai presiden Republik
Indonesia. Syahwat politik Nusantara semakin mengikrarkan, mengkibarkan,
memproklamirkan jati dirinya dengan mempercepat pemilu 2002 diajukan ke tahun
1999. Stimulus presiden dipilih langsung oleh rakyat sejak tahun 2004 semakin
membuat gaduh politik secara nyata, terukur dan konstitusional.
Dekade 2004-2009
berlanjut 2009-2014, SBY atas pilihan rakyat berhasil menduduki kursi
kepresidenan dua kali berturut-turut. Sepertinya ada pihak yang menanam saham
dendam politik. Pola Soeharto sampai bisa disumpah menjadi presiden sampai 6
(enam) kali, karena berdasarkan pertimbangan pengalaman sebagai presiden
semata. Ada pihak yang menjadikan momentum ini untuk menginspirasi dirinya
sebagai yang layak dan berhak “memperpanjang” masa jabatannya sebagai presiden.
Rupiah ditutup
tiap hari dalam kondisi menguat/melemah plus atau minus beberapa point.
Dua tahun
pertama, 27 Oktober 2014 – 27 Oktober 2016, periode pemerintahan Jokowi-JK,
tetap mengandalkan keajaiban politik. Peta
politik Nusantara ditentukan kinerja atau tepatnya rasa solidaritas, toleransi
maupun kolaborasi antara Jokowi vs JK vs oknum ketua umum parpol juara umum
pemilu legislatif 2014. Pelaku ekonomi yang sesungguhnya menetapkan arah
perjalanan bangsa dan negara Indonesia, bukan sekedar kekuatan tak terlihat
atau kekuatan yang nyaris tak tersentuh hukum, memang itulah namanya nafsu
syahwat politik Nusantara. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar