pungutan liar dan korupsi mulai daerah pinggiran
Akhirnya, sinyalemen wong Jawa yaitu “Asu gedhé menang kerahé” (tegesé wong gedhé lan nduwé panguwasa menang kuwasané). Terbukti tanpa perlu dibuktikan secara
yuridsi formal. Menjadi menu politik dan ternyata nyata-nyata sekali nyatanya
di éra mégatéga yang sarat dengan berbagai mégakasus, mégakonflik semangkin marak, subur
dan berkelanjutan. Efek domino sebagai negara multipartai terasa menyesakkan
dada rakyat.
Tumbuh kembangnya ideologi Nusantara berbagai versi,
menjadikan UU RI 28/1999 tentang
“Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme”,
menyesuaikan diri dengan kebijakan partai menjadi “Korupsi Menjadi Hak Paten Penyelenggara
Negara”.
Ilmu perang peninggalan neneka moyang : gerilya, selain mengilhami tukang perang dunia menjadi sumber
inspirasi bagaimana melakukan tipikor. Jika markas besar susah diserang,
ditembus apalagi direbut. Kikis dari pinggiran, cari celah yang paling lemah.
Semakin jauh dari pusat gempa, dampaknya masih tidak akan menimbulkan bencana.
Jangan lupa, kerusakan walau setitik, bisa sebagai awal titik retak persatuan
dan kesatuan bangsa.
Rakyat bersyukur, di periode 2014-2019 masih terdapat sejumlah anak bangsa yang
berjuang mengatasnamakan rakyat. Walhasil, mereka terjebak dogma atau stigma
menikmati hasil perjuangan politiknya diatas pendertitaan rakyat sekaligus
meraup, meraih, menadah untung dibawah kerugian negara.
Kasus atau pasal ‘merugikan negara, ditetapkan menjadi domain khusus untuk
penyelenggara negara, lebih khusus lagi dari unsur partai politik. Ruang gerak
bagi pihak atau penikmat jerih payahnya di luar panggilan tugas, yang tidak
hanya mengandalkan gaji per bulan, masih diberi peluang.
Kebijakan pemerintah memberi peluang terhadap pihak yang tidak bisa
melakukan tindakan yang merugikan negara, adalah memberi mereka kesempatan
dengan modus operandi yang disebut pungutan liar. Artinya, pihak yang menyelenggarakan
pelayanan publik, memanfaatkan asas percepatan pelayananan. Dengan cara menyingkat atau
memotong jalur, mata rantai birokrasi melalui metode memendekkan perjalanan
waktu bagi pihak yang memebutuhkan jasa pelayanan publik. Jasa pelayanan merupakan fungsi tarif dan biaya layanan. Ada tariff normal
sesuai prosedur, atau yang di luar prosedur.
Cara ini diharapkan rmendongkrak kinerja
si pelayan publik, si pengabdi masyarakat, si pengayom masyarakat. Minimal
betapa pedulinya pemerintah sampai tingkat paling bawah untuk jangan sampai
terjadi “tikus mati di lumbung”.
Memaknai sistem pelayanan satu atap,
satu pintu, sebagai bentuk formal, legal, sah, konstitusional untuk untuk
mendapatkan remah-remah kue nasional. Sambil menyelam menyedot Rp diluar pasal
merugikan negara secara langsung mapun merugikan negara secara tak langsung. Prinsip
mereka adalah tidak menggerogoti uang negara. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar