menulis dan mendaur ulang dosa
Penulis yang memang
sudah masuk kategori kegiatan tulis menulis, yang menyandang predikat penulis
dengan berbagai kualifikasi dan klasifikasi, mau tak mau akan menerima
kritikan. Resep jitu penulis menghadapi masukan berbagai kadar yang masuk
kubangan pro dan kontra, jangan ditanggapi dengan tulisan. Tulisan sebagai
karya tulis. Silahkan pembaca mengapresiasinya.
Penulis merasa ada
masukan, jadikan sebagai peningkatan kualitas tulisan. Itu saja. Terlibat obrolan,
ada yang bilang jangan takut pakai kata “saya”. Orang Inggris memakai huruf kapital,
huruf besar “I” untuk dirinya. Orang dan
bangsa timur justru meredam dan memendam rasa keakuan. Jangan menyombongkan
diri. Terkait karya tulis, tidak ada pasal haram menampilkan jati diri, sebagai
subyek, sebagai pelaku, Kapan-kapan kita bahas lagi.
Ada masukan yang
menyemangati saya, minimal masih ada yang melirik tulisan saya.
Pertama. Ada komen : “Tendensius!”. Agar tulisan atraktif, berdaya tarik, menarik minat mata pemirsa, olah
bahasa tulis denga kaidah benar dan baik. Ternyata ikhwal ini masih sebagai
awal pencitraan. Agar rangkaian, jalinan, runutan substansi tidak membosankan. Bagi
yang imajinasinya ampuh, tulen, tidak masalah, duduk, tulis langsung jadi. Agar
tidak fiktif, kita bisa memakai pengalaman diri atau penglaman orang lain. Sasaran
tembak bisa-bisa bisa orang lain. Bukan orang atau kelakuannya. Tetapi model,
pola atau dimensi yang berkembang menjadi trade
mark-nya, menjadi ciri khas dan jati diri. Misal, petani jika dikisahkan
menyangkut berbagai aspek. Petani bukan “das
Ding an sich” doang. Karepe mbilung.
Kedua. Ada komen
sederhana, lugas : “Picik!”. Masukan ini
membuktikan budaya membaca anak bangs masih di bawah standar,masih di garis
bawah rata-rata dunia. Masih di ambang perdana. Beda kalau kita dengar lelucon
yang tidak lucu, kenapa kita, atau cuma kita yang tertawa. Daya dong rendah, atau asupan habis, sudah
tidak manjur lagi. Seperti oknum ketua umum parpol keluarga, setiap tenga
pidato tanpa teks, kehabisan nafas plus kekurangan perbendaharaan kalimat,
minta pendengar setianya untuk tepuk tangan. Tepuk tangan saja kok diminta,
disuruh.
Jadi, tapi bukan
kesimpulan, menjadikan orang lain sebagai obyek tulisan – walau bukan orang
apalagi kelakuannya – mau tak mau akan berurusan dengan kerja malaikat pencatat
amal. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar