Halaman

Kamis, 06 Oktober 2016

menulis dan mendaur ulang dosa



menulis dan mendaur ulang dosa

Penulis yang memang sudah masuk kategori kegiatan tulis menulis, yang menyandang predikat penulis dengan berbagai kualifikasi dan klasifikasi, mau tak mau akan menerima kritikan. Resep jitu penulis menghadapi masukan berbagai kadar yang masuk kubangan pro dan kontra, jangan ditanggapi dengan tulisan. Tulisan sebagai karya tulis. Silahkan pembaca mengapresiasinya.

Penulis merasa ada masukan, jadikan sebagai peningkatan kualitas tulisan. Itu saja. Terlibat obrolan, ada yang bilang jangan takut pakai kata “saya”. Orang Inggris memakai huruf kapital, huruf besar “I” untuk dirinya. Orang dan bangsa timur justru meredam dan memendam rasa keakuan. Jangan menyombongkan diri. Terkait karya tulis, tidak ada pasal haram menampilkan jati diri, sebagai subyek, sebagai pelaku, Kapan-kapan kita bahas lagi.

Ada masukan yang menyemangati saya, minimal masih ada yang melirik tulisan saya.

Pertama. Ada komen : “Tendensius!”. Agar tulisan atraktif, berdaya tarik, menarik minat mata pemirsa, olah bahasa tulis denga kaidah benar dan baik. Ternyata ikhwal ini masih sebagai awal pencitraan. Agar rangkaian, jalinan, runutan substansi tidak membosankan. Bagi yang imajinasinya ampuh, tulen, tidak masalah, duduk, tulis langsung jadi. Agar tidak fiktif, kita bisa memakai pengalaman diri atau penglaman orang lain. Sasaran tembak bisa-bisa bisa orang lain. Bukan orang atau kelakuannya. Tetapi model, pola atau dimensi yang berkembang menjadi trade mark-nya, menjadi ciri khas dan jati diri. Misal, petani jika dikisahkan menyangkut berbagai aspek. Petani bukan das Ding an sichdoang. Karepe mbilung.

Kedua. Ada komen sederhana, lugas : “Picik!”. Masukan ini membuktikan budaya membaca anak bangs masih di bawah standar,masih di garis bawah rata-rata dunia. Masih di ambang perdana. Beda kalau kita dengar lelucon yang tidak lucu, kenapa kita, atau cuma kita yang tertawa. Daya dong rendah, atau asupan habis, sudah tidak manjur lagi. Seperti oknum ketua umum parpol keluarga, setiap tenga pidato tanpa teks, kehabisan nafas plus kekurangan perbendaharaan kalimat, minta pendengar setianya untuk tepuk tangan. Tepuk tangan saja kok diminta, disuruh.

Jadi, tapi bukan kesimpulan, menjadikan orang lain sebagai obyek tulisan – walau bukan orang apalagi kelakuannya – mau tak mau akan berurusan dengan kerja malaikat pencatat amal. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar