menulis dan jangan pamer bego
Kita sebagai umat
manusia, wajib bersyukur, betapa tidak, Allah selalu menutupi aib kita. Allah
tidak suka aroma irama busuk diri kita, tercium sampai di mana-mana. Allah
menjaga 24 jam sehari semalam, agar kita lepas dari terpaan fitnah dunia. Di
sisi lain, tukang gosip, menjadikan buruk orang lain menjadi sumber
penghasilan, menjadi mata pencaharian. Media penyiaran TV kalau tidak
menampilkan sisi buruk manusia, seperti kehilangan daya siar. Takut dijauhi
pemodal, peringkat jadi jeblok. Kalau bisa tidak sekedar menelanjangi sisi
buruk obyek berita, gambarnya juga ditampilkan.
Namanya manusia, secara
sadar diri malah suka pamer. Kumpul dengan komplotannya, kurang afdol kalau
tidak umbar bangga diri. Cerita amal yang telah ditumpuk, agar dianggap sebagai
ahli amal, tukang amal. Atau cerita kehebatan diri tanpa tanding, agar
diperhitungkan eksistensinya. Cerita terasa hambar, karena kebanyakan bumbu
penyedap, yang bikin gatal telinga. Memberi suri teladan bukan dengan kata-kata
saja. Ahli cakap, acap hanya mengulang cerita pengalaman lama, bak memutar
rekaman suara. Di sinilah, posisi bahwa bangga diri merupakan saudara dekat
pamer bego. Menunjukkan sejatinya isi perut, bukan kandungan dan komposisi
otak.
Betul dugaan
pembaca. Autobiografi utawa riwayat
hidup pribadi yang ditulis sendiri bisa masuk wilayah abu-abu. Ceknya gampang,
bagaimana gaya hidup keseharian ybs. Akrab, butuh atau getol uber publikasi,
kejar popularitas. Guratan wajah ambisi di wajah tidak bisa dimanipulasi dengan
senyum pasangan. Jangan samakan dengan modal wajah. Memang merek silsilah bukan
jaminan prestasi mengalir dari atas. Nama baik.ilmu bisa diwariskan. Faktor
panutan, faktor ajar dalam keluarga bisa mencetak bibit unggul. Ambisi sampai
derajat syahwat bisa mengkontaminasi perjalanan hidup, proses waktu dan masa
depan anak keturunan.
Bangga diri dengan sederet prestasi – nanti dulu, itu
sebagai kewajiban maupun melebihi panggilan tugas – biarkan sejarah yang
menilai. Biarkan orang lain yang menilai. Penilai terbaik atas diri kita,
penilai jujur – bukan saat kita bercermin – justru datang dari pihak lawan. Pihak
yang mungkin kita benci hidup-hidup. Telunjuk menunjuk orang lain, lihat :
kelingking, jari manis dan jari tengah rapat sejajar menunjuk diri sendiri.
Bukti tertulis, apa yang kita tulis, walau sebagai proses
yang berlandaskan niat baik dan benar. Semata membuktikan diri kepada orang
lain bahwa kita punya prestasi. Semisal pernah ikut kesebelasan RT saat laga
bola 17 Agustusan. Kelamaan orang memuja dan memujinya, di panggung politik,
pelaku politik tanpa sungkan menyanjung diri sendiri, tanpa diminta. Apa yang
kita banggakan, bisa-bisa sebagai sisi lain dari aib kita.
Jangan seperti penjaga malam, bangga cerita bahwa semalam
bermimpi mendapat wangsit. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar