Halaman

Selasa, 04 Oktober 2016

menulis dan jangan pamer bego



menulis dan jangan pamer bego

Kita sebagai umat manusia, wajib bersyukur, betapa tidak, Allah selalu menutupi aib kita. Allah tidak suka aroma irama busuk diri kita, tercium sampai di mana-mana. Allah menjaga 24 jam sehari semalam, agar kita lepas dari terpaan fitnah dunia. Di sisi lain, tukang gosip, menjadikan buruk orang lain menjadi sumber penghasilan, menjadi mata pencaharian. Media penyiaran TV kalau tidak menampilkan sisi buruk manusia, seperti kehilangan daya siar. Takut dijauhi pemodal, peringkat jadi jeblok. Kalau bisa tidak sekedar menelanjangi sisi buruk obyek berita, gambarnya juga ditampilkan.

Namanya manusia, secara sadar diri malah suka pamer. Kumpul dengan komplotannya, kurang afdol kalau tidak umbar bangga diri. Cerita amal yang telah ditumpuk, agar dianggap sebagai ahli amal, tukang amal. Atau cerita kehebatan diri tanpa tanding, agar diperhitungkan eksistensinya. Cerita terasa hambar, karena kebanyakan bumbu penyedap, yang bikin gatal telinga. Memberi suri teladan bukan dengan kata-kata saja. Ahli cakap, acap hanya mengulang cerita pengalaman lama, bak memutar rekaman suara. Di sinilah, posisi bahwa bangga diri merupakan saudara dekat pamer bego. Menunjukkan sejatinya isi perut, bukan kandungan dan komposisi otak.

Betul dugaan pembaca. Autobiografi utawa riwayat hidup pribadi yang ditulis sendiri bisa masuk wilayah abu-abu. Ceknya gampang, bagaimana gaya hidup keseharian ybs. Akrab, butuh atau getol uber publikasi, kejar popularitas. Guratan wajah ambisi di wajah tidak bisa dimanipulasi dengan senyum pasangan. Jangan samakan dengan modal wajah. Memang merek silsilah bukan jaminan prestasi mengalir dari atas. Nama baik.ilmu bisa diwariskan. Faktor panutan, faktor ajar dalam keluarga bisa mencetak bibit unggul. Ambisi sampai derajat syahwat bisa mengkontaminasi perjalanan hidup, proses waktu dan masa depan anak keturunan.

Bangga diri dengan sederet prestasi – nanti dulu, itu sebagai kewajiban maupun melebihi panggilan tugas – biarkan sejarah yang menilai. Biarkan orang lain yang menilai. Penilai terbaik atas diri kita, penilai jujur – bukan saat kita bercermin – justru datang dari pihak lawan. Pihak yang mungkin kita benci hidup-hidup. Telunjuk menunjuk orang lain, lihat : kelingking, jari manis dan jari tengah rapat sejajar menunjuk diri sendiri.

Bukti tertulis, apa yang kita tulis, walau sebagai proses yang berlandaskan niat baik dan benar. Semata membuktikan diri kepada orang lain bahwa kita punya prestasi. Semisal pernah ikut kesebelasan RT saat laga bola 17 Agustusan. Kelamaan orang memuja dan memujinya, di panggung politik, pelaku politik tanpa sungkan menyanjung diri sendiri, tanpa diminta. Apa yang kita banggakan, bisa-bisa sebagai sisi lain dari aib kita.

Jangan seperti penjaga malam, bangga cerita bahwa semalam bermimpi mendapat wangsit. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar