Halaman

Selasa, 25 Oktober 2016

puitis sekali, penyebab anak teknik enggan diskusi agama



puitis sekali, penyebab anak teknik enggan diskusi agama

Kejadian satu perkara belum bisa ditarik kesimpulannya. Lebih afdol kalau sudah 3 (tiga) kasus baru dapat disimpulkan. Bukan berarti satu kejadian, terlebih berdiri sendiri, tidak bisa diperdebatkan. Jangan lupa kawan, satu kejadian, betapa kecil dan sederhananya, malah bisa sebagai indikasi, sinyal, pertanda. Mewakili fakta yang lebih besar, makro.

Ingat sejarah, ketika seorang mata-mata menyelidiki kekuatan negara yang akan diserangnya. Di taman, dia menemui anak kecil yang menangis. Membawa busur, satu anak panah dan satu burung bidikannya. Sang anak sedih, belum bisa mengikuti nasihat ibunya, satu anak panah untuk 3 burung. Sang mata-mata membaca pertanda bagaimana yang sudah dewasa. Tentu sudah ahli dan mahir memanah. Pulanglah ke negaranya, dan bilang kerajanya, kita belum siap menyerang.

Iseng saya buka fb. Kontak dengan teman yang sama-sama pensiun di tahun 2008. Ybs pasca pensiun tetap membantu kantor lama dengan pensiunan lainnya. Karena ada kegiatan fiktif, cukup sekian. Tahun berikutnya pilih jaga rumah. Ketika di fb-nya kuisi siapkan diri menuju kampung akhirat. Reaksinya sederhana “ … puitis sekali”. Tidak bisa disalahkan. Karena disiplin ilmu tekniknya yang akrab dengan angka serta menangani pekerjaan dengan bahasa program, menjadikannya sentris. Saya jawab : “bahasa agama .. “. Akhirnya saya coba hindari debatable.

Padahal, kalau kita simak terjemahan, tafsir Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah, tidak bisa sekali baca langsung menyerap maknanya. Mengikuti majelis tholabul ‘ilmi atau mencari ilmu, modal telinga saja bukam jaminan merasuk ke hati. Bisa-bisa masuk telinga kanan ke luar dari telinga kanan juga.

Akankah anak manusia yang otaknya sudah terformat oleh displin ilmunya, menjadi kebal asupan rohani. Ataukah bahasa agama Islam sebagai proses syiar perlu metode khusus. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar