puitis sekali, penyebab
anak teknik enggan diskusi agama
Kejadian satu perkara belum bisa ditarik kesimpulannya. Lebih afdol kalau
sudah 3 (tiga) kasus baru dapat disimpulkan. Bukan berarti satu kejadian,
terlebih berdiri sendiri, tidak bisa diperdebatkan. Jangan lupa kawan, satu
kejadian, betapa kecil dan sederhananya, malah bisa sebagai indikasi, sinyal,
pertanda. Mewakili fakta yang lebih besar, makro.
Ingat sejarah, ketika seorang mata-mata menyelidiki kekuatan negara yang
akan diserangnya. Di taman, dia menemui anak kecil yang menangis. Membawa busur,
satu anak panah dan satu burung bidikannya. Sang anak sedih, belum bisa
mengikuti nasihat ibunya, satu anak panah untuk 3 burung. Sang mata-mata
membaca pertanda bagaimana yang sudah dewasa. Tentu sudah ahli dan mahir
memanah. Pulanglah ke negaranya, dan bilang kerajanya, kita belum siap
menyerang.
Iseng saya buka fb. Kontak dengan teman yang sama-sama pensiun di tahun
2008. Ybs pasca pensiun tetap membantu kantor lama dengan pensiunan lainnya. Karena
ada kegiatan fiktif, cukup sekian. Tahun berikutnya pilih jaga rumah. Ketika di
fb-nya kuisi siapkan diri menuju kampung akhirat. Reaksinya sederhana “ …
puitis sekali”. Tidak bisa disalahkan. Karena disiplin ilmu tekniknya yang
akrab dengan angka serta menangani pekerjaan dengan bahasa program,
menjadikannya sentris. Saya jawab : “bahasa agama .. “. Akhirnya saya coba
hindari debatable.
Padahal, kalau kita simak terjemahan, tafsir Al-Qur’an atau Sunnah
Rasulullah, tidak bisa sekali baca langsung menyerap maknanya. Mengikuti majelis
tholabul ‘ilmi atau mencari ilmu, modal telinga saja bukam jaminan merasuk ke
hati. Bisa-bisa masuk telinga kanan ke luar dari telinga kanan juga.
Akankah anak manusia yang otaknya sudah terformat oleh displin ilmunya,
menjadi kebal asupan rohani. Ataukah bahasa agama Islam sebagai proses syiar
perlu metode khusus. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar