dilema revolusi mental, BBM irit vs tol boros
Laju pemerintah periode 2014-2019,
Jokowi-JK, jelang dua tahun 27 Oktober 2014 - 27 Oktober 2016, menimbulkan
jejak tak terlacak atau lebih didominasi polusi dari asap pembakaran kendaraan
politik. Partai politik, terutama yang propemerintah, tidak bersinerji seperti
yang diharapkan. Terjadi semboyan saling libas. Internal parpol terdapat
perseteruan yang akut, kronis. Seperti mendapat kutukan politik. Seolah koalisi
propemerintah berdiri sama tegak, perut tidak sama buncit. Daya juang mereka
sebatas isi perut dan dorongan bawah perut. Dengan teman separtai saja téga-téganya, apalagi dengan lawan politik.
Tak ayal di era mégatéga, sepertinya memakai resep lama, walau
belum kedaluwarsa. Tercatat di primbon ki dalang Sabdopawon, ada resep
2004-2009 dan ramuan 2009-2014 yang didaur ulang. Varian dua periode tersebut
tanpa malu-malu dipraktikkan dengan rasa tanpa malu. Kalau perlu, dan juga
tanpa sungkan memuji diri sendir atas prestasi lamanya. Ybs tidak tahu mana panggilan
tugas dengan kebijakan partai. Bersyukur, rakyat walau tetap pada standar buta
politik, tetapi tidak buta mata hati.
Memasuki tahun ketiga atau tengah
periode 2014-2019, bersyukur doa rakyat masih berdengung. Masih banyak yang
peduli atas perjalanan nasib dan perjuangan waktu bangsa dan rakyat Indonesia. Generasi
muda dengan semangat cinta tanah air tetap menyuarakan persatuan dan kesatuan. Mereka
tidak terkontaminasi hiruk-pikuk gaya hidup, gaul dan gengsi generasi terkini. Mereka
tak bergeming dengan carut-marut oleh ulah, tingkah lahu para kawanan politisi
yang sarat ambisi, minim prestasi.
Bongkar pasang, sistem kanibal kabinet
kerja semangkin membuktikan adanya daripada praktik politik bagi hasil. Pelaku ekonomi
bertepuk tangan kegirangan, melihat boneka politik Nusantara bermain sesuai
skenarionya. Jelang azan ashar waktu setempat. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar