Halaman

Sabtu, 15 Oktober 2016

dilema revolusi mental, BBM irit vs tol boros



dilema revolusi mental, BBM irit vs tol boros

Laju pemerintah periode 2014-2019, Jokowi-JK, jelang dua tahun 27 Oktober 2014 - 27 Oktober 2016, menimbulkan jejak tak terlacak atau lebih didominasi polusi dari asap pembakaran kendaraan politik. Partai politik, terutama yang propemerintah, tidak bersinerji seperti yang diharapkan. Terjadi semboyan saling libas. Internal parpol terdapat perseteruan yang akut, kronis. Seperti mendapat kutukan politik. Seolah koalisi propemerintah berdiri sama tegak, perut tidak sama buncit. Daya juang mereka sebatas isi perut dan dorongan bawah perut. Dengan teman separtai saja téga-téganya, apalagi dengan lawan politik.

Tak ayal di era mégatéga, sepertinya memakai resep lama, walau belum kedaluwarsa. Tercatat di primbon ki dalang Sabdopawon, ada resep 2004-2009 dan ramuan 2009-2014 yang didaur ulang. Varian dua periode tersebut tanpa malu-malu dipraktikkan dengan rasa tanpa malu. Kalau perlu, dan juga tanpa sungkan memuji diri sendir atas prestasi lamanya. Ybs tidak tahu mana panggilan tugas dengan kebijakan partai. Bersyukur, rakyat walau tetap pada standar buta politik, tetapi tidak buta mata hati.

Memasuki tahun ketiga atau tengah periode 2014-2019, bersyukur doa rakyat masih berdengung. Masih banyak yang peduli atas perjalanan nasib dan perjuangan waktu bangsa dan rakyat Indonesia. Generasi muda dengan semangat cinta tanah air tetap menyuarakan persatuan dan kesatuan. Mereka tidak terkontaminasi hiruk-pikuk gaya hidup, gaul dan gengsi generasi terkini. Mereka tak bergeming dengan carut-marut oleh ulah, tingkah lahu para kawanan politisi yang sarat ambisi, minim prestasi.

Bongkar pasang, sistem kanibal kabinet kerja semangkin membuktikan adanya daripada praktik politik bagi hasil. Pelaku ekonomi bertepuk tangan kegirangan, melihat boneka politik Nusantara bermain sesuai skenarionya. Jelang azan ashar waktu setempat. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar