Halaman

Jumat, 14 Oktober 2016

isu SARA dan bumbu humor politik



isu SARA dan bumbu humor politik

Politik itu memang ajaib. Paling tidak partai politik menjelma menjadi kotak ajaib. Zaman Orde Baru, Golkar yang bukan partai politik bisa menjadi pabrik jabatan apa saja. Kuningisasi bisa sampai mermbah pelosok, sudut dan pojok udik. Tempat angker, yang mana darimana jin saja takut buang anak di situ.

22 hari jadi menteri, dinonaktifkan, karena proses manajemen. Karena proses manajemen pula dinobatkan kembali jadi wakil menteri. Ini namanya baru Indonesia-ku. Indonesia-mu bagaimana kawan. Merombak barisan pembantu presiden, memang hak prerogatif presiden. Dengan atau tanpa restu wakil presiden. Siapa tahu periode yad, presiden sekarang dipilih jadi wakli presiden. Semua serba mungkin kawan.

Kemelut politik Nusantara datang silih berganti. Seolah tergantung selera tukang berita. Satu kejadian perkara bisa diberitakan dengan berbagai versi, dengan kedalaman yang mengundang decak kagum. Yang seharusnya dirawat malah diumbar. Yang seharusnya dibuka untuk umum, malah diraibkan demi kepentingan yang lebih penting.

Sistem kanibal berlaku wajar tanpa pengeculaian pada kabinet kerja Jokowi-JK. Semua jurus andalan dikeluarkan, agar kabinet kerja tetap berjalan sesuai formulasi revolusi mental. Katakan, secara obrolan awam,  orang mau masak tidak tahu mau masak apa. Semua bahan disiapkan, semua bumbu diracik. Setiap tuakng masak bebas masak apa saja. Pada waktu tertentu, semua hasil olahan disatukan. Dipilah dan dipilih sesuai karaketer asal-usulnya. Jangan terpengaruh peribahasa “garam di laut, asam di gunung, bertemu jua akhirnya”.

Pokoknya, daging binatang darat jangan dicampur dengan daging binatang air. Bumbu yang hidup di bawah tanah jangan diauk-aduk jadi satu dengan bumbu yang tumbuh di atas tanah. Masih banyak lagi aturan main.

Akhirnya, tiap tahun negara ini terpaksa mengulang menu politik yang sama. Yang menjadikan dinamika dapur Nusantara, sang juragan koki sudah siap dengan menu untuk periode berikutnya.

Rakyat hanya mampu mendoakan agar jangan sampai keselip lidah. Lidah tergigit gigi sendiri. Maklum bumbu humor politik sudah tidak bisa diukur dengan takaran moral. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar