standar ganda revolusi mental, teh celup vs evolusi mukiyo
Ketika demokrasi
Nusantara mencapai derajat presiden dipilih langsung oleh rakyat yang
menggunakan hak pilihnya, peta politik semakin buram, bertambah suram. Aliran ideologi
menjadi semakin semu. Diperparah, rekam jejak oknum ketua umum sudah ketahuan
berapa belangnya. Partai politik tidak perlu ideologi. Mau aliran kanan, paham
kiri, garis keras tengah, atau doktrin abu-abu tidak masalah. Yang penting
jangan seperti “tikus mati di lumbung”.
Tidak perlu seperti “musang
berbulu ayam”, bahkan berani terang-terangan menampilkan kemusangannya. Yang ditakuti
oleh kawanan partai cuma satu, satu paket yaitu : kemiskinan, kelaparan,
kebodohan. Kalau pembantu presiden 2014-2019 lapor harta kekayaan, kemungkinan
siapa yang hartanya melimpah, apakah orang partai atau kalangan profesional.
Selera politik
menjadikan periode 2014-2019 sebagai tabung reaksi. Formula ajaib politik
dipakai ulang. Seperti tutur ki dalang Sobopawon, tokoh hitam di dunia wayang,
masih kalah bersaing dengan pelaku, pekerja, pertugas, pegiat partai. Di panggung,
industri, syahwat politik, tidak ada pembedaan jenis kelamin. Antara kaum hawa
dengan kaum adam tidak dibedakan. Dan mereka sendiri tidak membedakan diri. Kalau
sudah berurusan dengan pihak berwajib, minimal dipanggil sampai mempunyai
keputusan hukum yang tetap, mereka ahli memanipulasi diri. Mendadak alim,
berhiba-hiba merasa sebagai korban kezaliman lawan politiknya.
Nyaris lupa, paket
miskin, lapar, bodoh yang kawanan parpolis alergi, menjadikan mereka sangat
piawai dalam memanfaatkan masa kekuasaannya. Apalagi kalau masuk kategori
penyelenggara negara. Akibat menang di pesta demokrasi. Opo tumon. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar