Halaman

Rabu, 16 September 2015

toleransi seremonial di Bumi Cenderawasih

toleransi seremonial di Bumi Cenderawasih

Peribahasa “lempar batu sembunyi tangan” yang menurut KBBI adalah melakukan sesuatu (kegiatan dsb), tetapi kemudian berdiam diri seolah-olah tidak tahu-menahu; [pb] berbuat kurang baik kpd orang, lalu berpura-pura tidak tahu, kalau diterapkan di zaman sekarang, bisa ketinggalan zaman. Bahkan jargon “undang-undang dibuat untuk dilanggar” sudah berlaku lumrahdan umum.

Menu yang digemari orang adalah “yang ingin sepakat justru yang berkhianat”. Artinya ada pihak yang gembar-gembor merasa dizalimi atau sebutan lainnya, sampai membuat maklumat di atas kertas, menyusun pernyataan di atas kertas tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan pihak lain, mempoisisikan diri sebagai pihak yang baik dan yang benar, ternyata justru ybs malah yang berbuat. Secara sadar, formal dan yuridis pihak ini mengkhianati dirinya sendiri. Tidak sekedar menjilat ludah sendiri.

Fakta sejarah kita mengacu berita di beberapa situs :

“Kemendagri Insiden Tolikara Tak Terkait Perda Khusus Papua”
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150720110347-20-67236/kemendagri-insiden-tolikara-tak-terkait-perda-khusus-papua/

Hafizd Mukti, CNN Indonesia
Senin, 20/07/2015 11:03 WIB
Umat Islam saat melaksanakan salat tarawih di Masjid Al-Furqon, Distrik Mimika Baru, Timika, Papua, Rabu (17/6). (Antara Foto/Spedy Paereng)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tengah menyelidiki kasus kerusuhan di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua saat perayaan Idul Fitri, 17 Juli 2015 lalu. Meski menyangkut sentimen antar agama, kemendagri membantah jika kerusuhan pecah akibat adanya aturan daerah di Papua.

"Perda khusus di Papua tidak ada yang diberlakukan berdasarkan agama. Mayoritas di Papua jika itu diberlakukan akan ada benturan dengan pemeluk agama lain," kata Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Dodi Riatmadji kepada CNN Indonesia, Senin (20/7).

Menurutnya, Papua sebagai daerah khusus atau istimewa sama dengan Aceh dan juga Yogyakarta. Namun, kekhususan setiap daerah berbeda-beda tergantung dengan sejarah, situasi dan kondisinya.

"Kalau di Aceh itu memang secara sejarah terkait agama, dan kalau di Papua diberlakukan juga soal agama itu malah lucu."

Dari hasil investigasi sementara yang dilakukan pihak Kemendagri, Dodi mengatakan, apa yang terjadi di Papua lebih bersifat dominasi kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Pasalnya, jika merujuk perda, tidak ada aturan yang melarang kegiatan agama manapun.

dst
- - - - - - - - -
Sebagai pembanding dan penyanding, beberapa hari sebelum tragedi Tolikara telah dipersiapkan pernyataan, sepakat sepihak, maklumat :

http://majalahselangkah.com/content/pernyataan-75-imam-katolik-tanah-papua-diapresiasi
Penulis : Joni Yohanes Pekei | Kamis, 16 Juli 2015 22:41 Dibaca : 1626    Komentar : 5
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Sebanyak 75 imam Katolik dari lima keuskupan di Papua meminta pemerintah mengatasi dan mencegah terulangnya kekerasan di Tanah Papua pada masa depan dan mengutamakan dialog sebagai sarana terbaik menemukan solusi atas persoalan di Tanah Papua.

Pernyataan yang diterima majalahselangkah.com, Rabu (15/7/2015) kemarin, terdiri dari 8 poin dan telah ditandatangani oleh Unio Keuskupan Agung Merauke Romo Diosisan (RD) Niko Jumari JK, Unio Keuskupan Agats RD. Abraham Nusmese, Unio Keuskupan Timika RD. Dominikus Dulione Hodo, Unio Keuskupan Manokwari-Sorong, RD. Izaak Bame dan Unio Keuskupan Jayapura RD Neles Tebay.

Berikut delapan poin pernyataan tersebut.

Pertama,
 Pemerintah berhasil membangun gedung-gedung sekolah, baik untuk Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), maupun Sekolah Menengah Umum (SMU), dari kota hingga kampung-kampung terpencil dan terisolir. Sekalipun demikian, kami sungguh merasa prihatin dengan situasi pendidikan di mana pembangunan gedung sekolah kurang diikuti oleh proses belajar-mengajar di ruang kelas. 

Secara jujur kami mengakui bahwa proses pendidikan dari tingkat SD hingga SMU, terutama yang berada di kampung-kampung yang mayoritas muridnya adalah orang Papua, tidak berjalan lancar. Anak-anak asli Papua sangat kurang mendapatkan pelajaran yang menjadi haknya oleh karena kelalaian dari para guru. Banyak anak asli Papua diluluskan dari ujian SD, sekalipun tidak bisa membaca dan menulis. Kami sedih karena hal ini sudah terjadi selama bertahun-tahun. Dan kami tidak bisa menerima situasi dan kenyataan ini, karena jelas-jelas merupakan pembiaran, penipuan, pembodohan, dan pembunuhan karakter.
Kedua, Kami menyaksikan pemerintah berhasil mendirikan banyak gedung untuk pelayanan kesehatan di berbagai tempat, termasuk kampung-kampung terisolir. Sekalipun demikian, kami mengamati bahwa kondisi kesehatan yang dialami rakyat Papua amat sangat memprihatinkan. Sambil mengakui adanya banyak masalah di bidang kesehatan, kami sungguh prihatin dengan penyebaran HIV dan AIDS, minuman keras (miras), narkoba, yang tetap dan terus mengancam eksistensi orang asli Papua.

Ketiga,
 dalam masa Otonomi Khusus ini, dibuat sejumlah pemekaran Kabupaten. Banyak orang menjadi pejabat. Kami secara khusus berbangga terhadap semua pejabat orang asli Papua yang menjadi pimpinan daerah seperti bupati dan gubernur serta pejabat-pejabat di berbagai instansi pemerintahan. Kami menaruh harapan yang lebih kepada mereka agar membuat program yang kena sasaran sesuai keadaan rakyat dan mampu menjadi teladan serta memberikan contoh yang baik kepada para pegawai lainnya.

Keempat, Kami melihat adanya ketidakadilan ekonomi, sosial, budaya, dan politik di Tanah Papua. Kami merasa prihatin dengan berbagai tindakan kekerasan yang terjadi di Bumi Cenderawasih. Kekerasan dibalas dengan kekerasan. Dan bahwa semua kekerasan ini menghambat pembangunan, mengusik perdamaian, dan melukai hati dan batin banyak orang.

Kelima, Kami menyaksikan bahwa hak-hak dasar masyarakat adat Papua kurang dihargai dan lingkungan hidup yang diciptakan Tuhan dihancurkan demi pembangunan dan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA).

Keenam, Kami menyaksikan berbagai bentuk pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM), seperti yang terjadi di Enarotali , Kabupaten Paniai, tanggal 8 Desember 2014, di mana empat orang tewas tertembak dan 17 orang menderita luka tembak. Martabat kemanusiaan tidak dihargai. Hak-hak kewarganegaraan tidak dihormati, sekalipun dijamin oleh Konstitusi.

Ketujuh, Kami menyaksikan bahwa kecurigaan dan ketidakpercayaan mewarnai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan orang Asli Papua, antara aparat keamanan TNI-Polri dan rakyat Papua, antara orang asli Papua dan warga Papua yang berasal dari luar Tanah Papua. Kami mengamati dan merasakan bahwa jumlah penduduk yang masuk ke Tanah Papua semakin hari semakin tinggi. 

Mereka berasal provinsi dan kelompok etnis yang berbeda dan menetap di semua ibu kota kabupaten di seluruh tanah Papua. Jumlah mereka bertambah secara cepat, maka apabila Pemerintah Daerah tidak melakukan pengendalian kependudukan, maka jumlah warga Papua yang datang dari luar Tanah Papua melampaui jumlah orang asli Papua, seperti yang sudah terjadi di Kota Jayapura, Merauke, Timika, Nabire, Manokwari, dan Sorong. Mobilisasi penduduk yang tak terkendali ini akan mempengaruhi komposisi penduduk Tanah Papua, yang membuat orang asli Papua menjadi minoritas di atas tanah leluhurnya, dan berdampak pada kehidupan politik.

Kedelapan, 
Kami mengamati bahwa hukum tidak ditegakkan secara tegas di Bumi Cenderawasih. Pengalaman memperlihatkan bahwa hukum dalam penerapannya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kami merasa heran karena pegawai yang meninggalkan tempat tugas bertahun-tahun lamanya tidak pernah diberikan sanksi apa pun.

Apresiasi 

Amandus, seorang tokoh Katolik dari Dogiyai mengapresiasi pernyataan para imam ini. 
"Saya tokoh Katolik. Para pastor bicara benar. Itu yang terjadi di tanah kami. Kami minta Jakarta buka diri untuk dialog, tetapi tidak pernah. Sekarang gereja harus bicara," kata dia. 

Ketua Dewan Adat Meepago, Oktovianus Pekey menilai apa yang dilakukan para imam Katolik adalah terobosan baru dalam tanggapi persoalan di Tanah Papua.

"Terobosan baru, karena selama ini Orang Papua menunggu kapan Gereja Katolik berbicara atas berbagai persoalan di Papua yang tentu merupakan penderitaan umat," kata Pekey. 

Matias, seorang Diakon Katolik di Nabire menilai, apa yang dilakukan para imam ini adalah yang seharusnya gereja lakukan. "Gereja harus bersuara atas kondisi umatnya. Saya kira hal ini terus harus dilakukan," ujarnya. (Joni Yohanes Pekei/Admin/MS)
- - - - - - - - -
Ulasan di atas, memang berbahan baku utama berdasar peran media massa. Tak ada kaitannya dengan cuplikan berita :
http://majalahselangkah.com/images/upload/2013/12/14/20131214_032633_5782.jpgPenulis : Admin MS | Minggu, 21 Juni 2015 14:28 Dibaca : 1080    Komentar :
http://majalahselangkah.com/images/upload/2015/06/21/20150621_023157_9562_l.jpeg
Kantor MRP. Foto: Ist.

HIMBAUAN MAJELIS RAKYAT PAPUA MENGENAI KEPUTUSAN MAJELIS RAKYAT PAPUA NOMOR 11/MRP/2015 TENTANG REKOMENDASI DAN RESOLUSI MAJELIS RAKYAT PAPUA TENTANG PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL ORANG ASLI PAPUA DALAM PEMILIHAN GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR, BUPATI/WAKIL BUPATI, DAN WALIKOTA/WAKIL WALIKOTA DI PROVINSI PAPUA.

Keputusan MRP No.11/MRP/2015, Menolak Calon Kepala Daerah dan Wakil Bukan Orang Asli Papua.

Majelis Rakyat Papua dalam Rapat Pleno yang dilaksanakan pada tanggal 16 Juni 2015 telah menetapkan Keputusan Majelis Rakyat Papua Nomor 11/MRP/2015 tentang Rekomendasi dan Resolusi Majelis Rakyat Papua tentang Perlindungan Hak Konstitusional Orang Asli Papua dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Papua. Keputusan ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang Majelis Rakyat Papua sebagai lembaga representasi perwakilan orang asli Papua yang melindungi hak-hak dasar orang asli Papua sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.

dst

Resolusi:

1. Yang berhak mencalonkan dan dicalonkan sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Papua adalah Orang Asli Papua yang ayah dan ibunya berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli di Papua.

2. Menolak calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota yang bukan orang asli Papua sebagaimana dimaksud pada poin 1 (satu).

Majelis Rakyat Papua mendesak Pemerintah dan semua pihak terkait untuk sungguh-sungguh memperhatikan dan melaksanakan secara taat asas Keputusan Majelis rakyat Papua ini demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan negara hukum demokrasi Pancasila yang berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melindungi hak-hak orang asli Papua sebagai warga negara Indonesia.

Jayapura, 16 Juni 2015

MAJELIS RAKYAT PAPUA

KETUA,



TIMOTIUS MURIB

- - - - - - - - -

[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar