Ketika Pengalaman Bukan Menjadi Guru Terbaik
Pernah ada kelakar tempo doeloe tentang ‘pengalaman’ yang ternyata
multitafsir. Sebuah pertanyaan yang tidak perlu serius menjawabnya’ yaitu : “
Pekerjaan/profesi/mata pencaharian apa, sang
pelamar yang tidak berpengalaman sama sekali justru kemungkinan besar terpilih
dan akan mendapat upah paling besar?”. Jawaban saat itu, jika diterjemahkan ke
dalam bahasa gaul generasi sekarang adalah “PSK”. Karena mengalami proses
penghalusan bahasa, maka pertanyaan di atas kalau diterapkan di era Revolusi
Mental menjadi mentah. Tidak sesuai kenyataan, bahkan bertolak belakang atau
kontradiksi.
PSK atau sebutan lainnya, ternyata justru yang berpengalaman, yang
mahir, lihal, piawai menservis pelanggan adalah raja, dengan modus operandi bak
fotocopy, bisa bolak-balik. Bak orang bersiul, siul bisa bunyi jika lubang yang
terbentuk di antara dua bibir pas. Bak
film komedian “atas boleh, bawah boleh”. Alasan klasik karena urusan perut,
bergeser menjadi karena tuntutan ‘bawah perut’. Apalagi pelaku berasal dari
artis penghibur yang mengandalah olah suara, olah tubuh, maupun olah kata.
Aneh tapi nyata, terjadi anomali makna pengalaman di industri,
panggung, syahwat politik Nusantara. Jika RI-1 ke-2 yaitu bapak Suharto, bisa
awet jadi penguasa tunggal Orde Baru, karena berpengalaman jadi presiden. Calon
penggantinya atau pihak yang antri jelas kalah syarat administrasi. Diperkuat
atas kehendak rakyat melalui MPR. Di periode 1999-2004 ada anak bangsa yang menjadi
wakil presiden berlanjut jadi presiden, ternyata pengalamannya tidak sebagai
nilai jual. Tidak sebagai faktor penentu dalam pilpres 2004dan 2009. Alasan
klasiknya karena merasa dicurangi. Apalagi di pilpres 2004, sebagai capres petahana
tidak mampu mempertahankan pamornya.
Yang belum dilupakan sejarah, yaitu wapres 2004-2009, bukan kebetulan
bermodal pengalaman sebagai wapres, mengulang menjadi/mendapat jabatan yang
sama di periode 2014-2019. Bukan sebagai wapres kambuhan. Bukan sebagai wapres
karbitan, orbitan atau boneka titipan bandar politik atau hasil skenario,
rekayasa, konspirasi internasional.
Namun
gonjang-ganjing, ontrang-ontrang Nusantara 2014-2019 karena Pemimpin Besar
Revolusi Mental hanya menunggu tahun baik, bulan baik, minggu hari baik,
tanggal baik untuk bertindak.Atau Jokowi kalah pamor dengan presiden senior. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar