Halaman

Senin, 14 September 2015

Ketika Pengalaman Bukan Menjadi Guru Terbaik

Ketika Pengalaman Bukan Menjadi Guru Terbaik

Pernah ada kelakar tempo doeloe tentang ‘pengalaman’ yang ternyata multitafsir. Sebuah pertanyaan yang tidak perlu serius menjawabnya’ yaitu : “ Pekerjaan/profesi/mata pencaharian apa,  sang pelamar yang tidak berpengalaman sama sekali justru kemungkinan besar terpilih dan akan mendapat upah paling besar?”. Jawaban saat itu, jika diterjemahkan ke dalam bahasa gaul generasi sekarang adalah “PSK”. Karena mengalami proses penghalusan bahasa, maka pertanyaan di atas kalau diterapkan di era Revolusi Mental menjadi mentah. Tidak sesuai kenyataan, bahkan bertolak belakang atau kontradiksi.

PSK atau sebutan lainnya, ternyata justru yang berpengalaman, yang mahir, lihal, piawai menservis pelanggan adalah raja, dengan modus operandi bak fotocopy, bisa bolak-balik. Bak orang bersiul, siul bisa bunyi jika lubang yang terbentuk  di antara dua bibir pas. Bak film komedian “atas boleh, bawah boleh”. Alasan klasik karena urusan perut, bergeser menjadi karena tuntutan ‘bawah perut’. Apalagi pelaku berasal dari artis penghibur yang mengandalah olah suara, olah tubuh, maupun olah kata.

Aneh tapi nyata, terjadi anomali makna pengalaman di industri, panggung, syahwat politik Nusantara. Jika RI-1 ke-2 yaitu bapak Suharto, bisa awet jadi penguasa tunggal Orde Baru, karena berpengalaman jadi presiden. Calon penggantinya atau pihak yang antri jelas kalah syarat administrasi. Diperkuat atas kehendak rakyat melalui MPR. Di periode 1999-2004 ada anak bangsa yang menjadi wakil presiden berlanjut jadi presiden, ternyata pengalamannya tidak sebagai nilai jual. Tidak sebagai faktor penentu dalam pilpres 2004dan 2009. Alasan klasiknya karena merasa dicurangi. Apalagi di pilpres 2004, sebagai capres petahana tidak mampu mempertahankan pamornya.

Yang belum dilupakan sejarah, yaitu wapres 2004-2009, bukan kebetulan bermodal pengalaman sebagai wapres, mengulang menjadi/mendapat jabatan yang sama di periode 2014-2019. Bukan sebagai wapres kambuhan. Bukan sebagai wapres karbitan, orbitan atau boneka titipan bandar politik atau hasil skenario, rekayasa, konspirasi internasional.

Namun gonjang-ganjing, ontrang-ontrang Nusantara 2014-2019 karena Pemimpin Besar Revolusi Mental hanya menunggu tahun baik, bulan baik, minggu hari baik, tanggal baik untuk bertindak.Atau Jokowi kalah pamor dengan presiden senior. [HaeN] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar