Halaman

Sabtu, 05 September 2015

mental pe-revolusi mental Nusantara, gaduh ternak vs gaduh hukum

mental pe-revolusi mental Nusantara, gaduh ternak vs gaduh hukum

Serba ‘G’, gaduh, gagah, galak, galau, gaplok, gamang, gampar, ganas, ganggu, gasak, garang-garing, garuk, ghibah, gigih, gilas, girang, gundah-gulana, gusur, gesek, geser, geger, gebrak, gebuk, gegap-gempita, gejala, gejolak, gelagat, geli, geliat, gelimang, gelora, gempa, genit, gerak, grebek, gruduk,  grusa-grusu, gonjang-ganjing, goda, gosip, gosok, goyang-gayung . . . menjadi acuan dasar, acuan utama, acuan yuridis formal oknum penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas fungsinya.

Muncul fenomena : gejolak sosial, geger politik, gempa ekonomi, gaduh hukum, dan aksi lainnya sebagai trade mark, ciri, karakter para pelakunya.

Penulis melalui tulisan ini mencoba fokus pada fakta ‘gaduh hukum’.  Agar nampak lebih berkarakter akademis, saya coba sandingkan maupun bandingkan dengan sistem jadul yang masih berlaku, yaitu ‘gaduh ternak’.

‘Gaduh ternak’ terjadi karena ada pihak yang memiliki atau bisa memiliki sejumlah ternak, namun tidak punya tempat tinggal yang layak buat ternaknya, tidak bisa mengkadangkannya, tidak mampu memelihara, merawat, memberi pakan sesuai pertumbuhan, mengembangbiakkan maupun dan atau menjualnya, sehingga butuh tempat khusus dan perlu bantuan orang lain. Pemilik ternak memberi lapangan kerja kepada pihak lain, dengan perjanjian dan kesepakatan tak tertulis. Berbasis bagi untung sesuai persetujuan di awal serta sama-sama merugi jika ada bencana.

‘Gaduh hukum’ terjadi karena pihak yang merasa berwajib, berwenang menegakkan hukum atau merasa layak, pantas, patut menerapkan, menimpakan hukum tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih, tanpa pilih tebang, tanpa embel-embel politik, tanpa jual beli pasal, kepada pihak manapun tanpa pilih tanding. Katanya. Penguasa hukum berbasis keamanan nasional (bangsa dan negara) merasa terusik, terganggu bahkan tergerogoti pihak tertentu atas ikhtiar otoritas formal ATM-nya, aliran Rp-nya, tata niaga laba yang biasa dan terbiasa diterima secara kolektif kolegial dengan  semangat korps, semangat angkatan jiwa pengayom dan pengayem masyarakat. Opo tumon.

Asal jangan terjadi “kesandung ing roto kebenjut ing tawang”. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar