mental pe-revolusi mental Nusantara,
gaduh ternak vs gaduh hukum
Serba ‘G’, gaduh, gagah, galak, galau,
gaplok, gamang, gampar, ganas, ganggu, gasak, garang-garing, garuk, ghibah, gigih,
gilas, girang, gundah-gulana, gusur, gesek, geser, geger, gebrak, gebuk, gegap-gempita,
gejala, gejolak, gelagat, geli, geliat, gelimang, gelora, gempa, genit, gerak, grebek,
gruduk, grusa-grusu, gonjang-ganjing, goda,
gosip, gosok, goyang-gayung . . . menjadi acuan dasar, acuan utama, acuan yuridis
formal oknum penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas fungsinya.
Muncul fenomena : gejolak sosial, geger
politik, gempa ekonomi, gaduh hukum, dan aksi lainnya sebagai trade mark, ciri,
karakter para pelakunya.
Penulis melalui tulisan ini mencoba
fokus pada fakta ‘gaduh hukum’. Agar
nampak lebih berkarakter akademis, saya coba sandingkan maupun bandingkan
dengan sistem jadul yang masih berlaku, yaitu ‘gaduh ternak’.
‘Gaduh ternak’ terjadi karena ada
pihak yang memiliki atau bisa memiliki sejumlah ternak, namun tidak punya
tempat tinggal yang layak buat ternaknya, tidak bisa mengkadangkannya, tidak
mampu memelihara, merawat, memberi pakan sesuai pertumbuhan, mengembangbiakkan
maupun dan atau menjualnya, sehingga butuh tempat khusus dan perlu bantuan
orang lain. Pemilik ternak memberi lapangan kerja kepada pihak lain, dengan
perjanjian dan kesepakatan tak tertulis. Berbasis bagi untung sesuai
persetujuan di awal serta sama-sama merugi jika ada bencana.
‘Gaduh hukum’ terjadi karena pihak
yang merasa berwajib, berwenang menegakkan hukum atau merasa layak, pantas,
patut menerapkan, menimpakan hukum tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih,
tanpa pilih tebang, tanpa embel-embel politik, tanpa jual beli pasal, kepada
pihak manapun tanpa pilih tanding. Katanya. Penguasa hukum berbasis keamanan
nasional (bangsa dan negara) merasa terusik, terganggu bahkan tergerogoti pihak
tertentu atas ikhtiar otoritas formal ATM-nya, aliran Rp-nya, tata niaga laba
yang biasa dan terbiasa diterima secara kolektif kolegial dengan semangat korps, semangat angkatan jiwa
pengayom dan pengayem masyarakat. Opo tumon.
Asal jangan terjadi “kesandung
ing roto kebenjut ing tawang”. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar