daripada
kejar ilmu sampai negeri China
Kampung
Pecinan yang nyaris sebagai saksi sejarah terbentuknya suatu kota di Indonesia,
sebagai fakta yang tak bisa dipungkiri. Pedagang dan pelaku ekonomi dari negeri
tirai bambu yang buka usaha mulai dari bawah atau titik nol. Modal ulet dan
kesetiakawanan membuahkan daya dominasi urusan perut sampai pernik-pernik gaya
hidup, gengsi dan gaul anak bangsa, masih bisa kita rasakan sampai sekarang.
Orang
China di negerinya sendiri memang harus bersaing untuk bisa tetap eksis. Jumlah
anak dalam keluarga dibatasi secara tegas oleh negara berbasis komunis, bukan
mengurangi persaingan. Sistem konstitusi China menerapkan aturan main, siapa
saja yang mau jadi “duta bangsa”, untuk urusan apa saja yang tidak mengenal
haram dan halal, akan mendapat dukungan nyata dari negara.
Nelayan
China yang menguber ikan atau penghuni laut lainnya, walau telah melarikan diri
sampai negeri orang, tetap akan diudak sampai ketangkap. Jika dilakukan secara
sistematis, akan “mendapart restu” dari pemerintah China. Kalau bisa jadi
bandar narkoba, mengapa hanya cuma mau jadi kurir saja. Begitu kiat mereka.
Di
periode 2014-2019, masuknya TKA (Tenaga
Kerja Aseng/Asing) akan disambut dengan gelaran karpet merah, dengan berbagai
dalih semangat CAFTA (China-ASEAN Free Trade Area).
Padahal,
menurut M. Fadhil Hasan, melalui
bahan kuliah umum “Perdagangan Internasional Indonesia: Peran, Tantangan dan
Peluang”, menyuratkan dampak negatif CAFTA :
Pertama, pasar dalam
negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing
akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen menjadi importir
atau pedagang saja.
Kedua, karakter
perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung
pada asing. Bahkan untuk produk “remeh-temeh”, seperti jarum saja harus diimpor.
Ketiga, peranan
produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas
dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun.
Keempat, serbuan
produk asing terutama dari China dapat mengakibatkan kehancuransektor-sektor
industri. Padahal sebelum 2009 saja Indonesia telah mengalami proses
deindustrialisasi (penurunan kontribusi sektor industri terhadap PDB).
Artinya, kita tak perlu repot, bersusah payah menuju China. Cukup
duduk manis di rumah, tanpa diundang gerombolan
dan kawanan TKA akan datang dengan gagahnya, sambil membusungkan dada, seraya
angkat dagu. Merasa dibutuhkan.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar