Halaman

Sabtu, 05 September 2015

daripada kejar ilmu sampai negeri China

daripada kejar ilmu sampai negeri China

Kampung Pecinan yang nyaris sebagai saksi sejarah terbentuknya suatu kota di Indonesia, sebagai fakta yang tak bisa dipungkiri. Pedagang dan pelaku ekonomi dari negeri tirai bambu yang buka usaha mulai dari bawah atau titik nol. Modal ulet dan kesetiakawanan membuahkan daya dominasi urusan perut sampai pernik-pernik gaya hidup, gengsi dan gaul anak bangsa, masih bisa kita rasakan sampai sekarang.

Orang China di negerinya sendiri memang harus bersaing untuk bisa tetap eksis. Jumlah anak dalam keluarga dibatasi secara tegas oleh negara berbasis komunis, bukan mengurangi persaingan. Sistem konstitusi China menerapkan aturan main, siapa saja yang mau jadi “duta bangsa”, untuk urusan apa saja yang tidak mengenal haram dan halal, akan mendapat dukungan nyata dari negara.

Nelayan China yang menguber ikan atau penghuni laut lainnya, walau telah melarikan diri sampai negeri orang, tetap akan diudak sampai ketangkap. Jika dilakukan secara sistematis, akan “mendapart restu” dari pemerintah China. Kalau bisa jadi bandar narkoba, mengapa hanya cuma mau jadi kurir saja. Begitu kiat mereka.

Di periode 2014-2019,  masuknya TKA (Tenaga Kerja Aseng/Asing) akan disambut dengan gelaran karpet merah, dengan berbagai dalih semangat CAFTA (China-ASEAN Free Trade Area).

Padahal, menurut M. Fadhil Hasan, melalui bahan kuliah umum “Perdagangan Internasional Indonesia: Peran, Tantangan dan Peluang”, menyuratkan dampak negatif CAFTA :

Pertama, pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen menjadi importir atau pedagang saja.

Kedua, karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada asing. Bahkan untuk produk “remeh-temeh”, seperti jarum saja harus diimpor.

Ketiga, peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun.

Keempat, serbuan produk asing terutama dari China dapat mengakibatkan kehancuransektor-sektor industri. Padahal sebelum 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan kontribusi sektor industri terhadap PDB).


Artinya, kita tak perlu repot, bersusah payah menuju China. Cukup duduk manis di rumah,   tanpa diundang gerombolan dan kawanan TKA akan datang dengan gagahnya, sambil membusungkan dada, seraya angkat dagu. Merasa dibutuhkan.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar