ketika
reaksi rakyat tanpa kata, dikira tak bisa buka suara
Indonesia
sebagai negara hukum, tak heran, siapa saja pihak yang tersangkut perkara,
siapa yang cakap bicara, ahli silat lidah, pandai baku mulut, cerdas cermat memutarbalikkan
dan memainkan makna tafsir pasal hukum, dipastikan akan dinyatakan sebagai
pihak yang tidak bersalah. Tak jarang, pihak penggugat malah jadi terpidana.
Apalagi rakyat yang mempertahankan haknya, bisa dicap anti Revolusi Mental.
Apalagi rakyat yang menyuarakan kebenaran, akan mendapat stigma teroris lokal.
Praktek
hukum Nusantara, bukan berdasarkan mana yang salah dan mana yang benar. Hukum
tidak mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Hukum tidak mencari dan
menegakkan kebenaran, walau fakta bicara dan mendukung. Keputusan hukum
berdasarkan asumsi dari selera pemutus perkara sesuai akumulasi modal mulut,
tekanan politik, dan kekuatan Rp.
Revolusi
Mental memposisikan rakyat sebagai obyek hukum. Aspirasi rakyat dan kejadian
nyata di masyarakat, sudah diakomodir oleh wakil rakyat, mulai dari tingkat
kabupaten/kota sampai Senayan. Laporan masyarakat, yang seharusnya terdeteksi
sejak dini oleh wakil rakyat, melalui kotak politik akan ditanggapi secara
seksama dan sesuai jadwal.
Makanya,
jeritan nestapa rakyat Indonesia yang mengadu nasib, mengejar Rp di negeri orang, di mancanegara
menjadi acara kunker oknum DPR. [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar