Halaman

Kamis, 24 September 2015

ketika reaksi rakyat tanpa kata, dikira tak bisa buka suara

ketika reaksi rakyat tanpa kata, dikira tak bisa buka suara

Indonesia sebagai negara hukum, tak heran, siapa saja pihak yang tersangkut perkara, siapa yang cakap bicara, ahli silat lidah, pandai baku mulut, cerdas cermat memutarbalikkan dan memainkan makna tafsir pasal hukum, dipastikan akan dinyatakan sebagai pihak yang tidak bersalah. Tak jarang, pihak penggugat malah jadi terpidana. Apalagi rakyat yang mempertahankan haknya, bisa dicap anti Revolusi Mental. Apalagi rakyat yang menyuarakan kebenaran, akan mendapat stigma teroris lokal.

Praktek hukum Nusantara, bukan berdasarkan mana yang salah dan mana yang benar. Hukum tidak mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Hukum tidak mencari dan menegakkan kebenaran, walau fakta bicara dan mendukung. Keputusan hukum berdasarkan asumsi dari selera pemutus perkara sesuai akumulasi modal mulut, tekanan politik, dan kekuatan Rp.

Revolusi Mental memposisikan rakyat sebagai obyek hukum. Aspirasi rakyat dan kejadian nyata di masyarakat, sudah diakomodir oleh wakil rakyat, mulai dari tingkat kabupaten/kota sampai Senayan. Laporan masyarakat, yang seharusnya terdeteksi sejak dini oleh wakil rakyat, melalui kotak politik akan ditanggapi secara seksama dan sesuai jadwal.

Makanya, jeritan nestapa rakyat Indonesia yang mengadu nasib, mengejar Rp di negeri orang, di mancanegara menjadi acara kunker oknum DPR. [Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar