LOKALISASI
MIRAS
Peraturan daerah selanjutnya disebut
Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota
(UU 32/2004 tentang “PEMERINTAHAN DAERAH”). Andai semua provinsi dan
kabupaten/kota menetapkan perda tentang minuman keras (miras) akan terdapat 33
perda miras tingkat provinsi dan 497 perda miras tingkat kabupaten/kota.
Faktor pertimbangan dalam menetapkan
perda miras antar kabupaten/kota bisa bertolak belakang, kendati berangkat dari
dasar hukum yang sama. Retribusi miras (misal pungutan 'labeling' serta
perizinan miras beralkohol) bisa jadi andalan pasokan penerimaan asli daerah
(PAD) di suatu kabupaten/kota, namun di kabupaten/kota lainnya miras bisa
ditetapkan sebagai barang haram.
Jalan tengah untuk menyikapi pro dan
kontra perda miras, beberapa pemda melakukan lokalisasi penjualan miras (misal
dalam hotel berbintang), melakukan pengawasan dan pengendalian, sampai razia
miras ilegal. Dalam prakteknya, wabah miras, rokok, judi, prostitusi
berlangsung dalam satu paket atau satu lokalisasi. Seolah pemerintah
kabupaten/kota melegalkan sumber akar permasalahan kriminalitas. Lokalisasi
miras jadi solusi formal untuk menjaring agar tidak semua pengguna bisa masuk
keluar bebas. Namun karena dari hulunya, produsen miras, seolah kebal hukum,
peredaran miras tetap deras bahkan bisa dibeli di warung rokok.
Miras bisa jadi gaya hidup,
menunjukkan citra kejantanan, media pelarian sementara, cara jitu melupakan
kenyataan, mencari kenikmatan sesaat, sampai kemungkinan sebagai bagian dari
acara ritual tradisional, kebiasaan dalam suatu komunitas dalam menolak hawa
dingin, sebagai produk lokal yang dikonsumsi harian. Secara historis, kebiasaan
menegak miras merupakan peninggalan penjajah dan diteruskan oleh penganut agama
selain Islam [HaeN]. 14 januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar