hukum,
semakin jauh dari Jakarta semakin tumpul
Sebagai negara hukum, negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Serta bahwa Pemerintah
berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran agama dan
ibadat pemeluk-pemeluknya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau menodai agama, serta tidak
mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.
Bahkan
Pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap
penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun,
lancar, dan tertib.
Sampai
tingkat kepala daerah dan wakil daerah di provinsi, kabupaten/kota, ada pasal
yang mengatur tugas dan kewajiban, seperti Peraturan Bersama Menteri Agama Dan
Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 tahun 2006 dan Nomor 8 tahun 2006 tentang “PEDOMAN
PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, DAN
PENDIRIAN RUMAH IBADAT”.
Ironis
tetapi wajar, kalau di tata niaga, ongkos transportasi barang/pangan dibebankan
pada harga jual. Semen yang diangkut dari pulau Jawa ke pulau Papua, di toko
setempat harga jualnya berlipat dibanding harga eceran tertinggi.
Ironis,
tetapi sangat tidak wajar, jika produk hukum sampai ke pihak yang berwajib di
tingkat kabupaten/kota, tanpa ongkos kirim/angkut, sesampainya di konsumen
harga jualnya malah anjlok. Nyaris tak berlaku. Apalagi sampai di kabupaten
Tolikara, provinsi Papua. Jangan-jangan yang berlaku adalah hukum rimba, hukum
sesuai asas tirani mayoritas.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar