Halaman

Minggu, 06 September 2015

kriminalisasi versi revolusi mental Nusantara, nasi basi diseberang lautan terendus vs bangkai tikus didepan hidung tak tercium


Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan pelindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Paradigma lama Polri  menganggap bahwa kejahatan itu adalah penyakit sosial, sebagai suatu anomali yang harus diberantas. Apakah ada beda antara “penyakit sosial” dengan “penyakit masyarakat” (acap dikenal sebagai pekat). Wewenang Polri a.l. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat (antara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar.).

Tindakan kepolisian adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat. (UU 2/2002 tentang “Kepolisian Negara Republik Indonesia”).

Tak heran jika Polri menghimbau masyarakat agar waspada, tidak memberi peluang, waktu dan ruang gerak pelaku tindak pidana kejahatan. Polri berasumsi bahwa kejahatan hanya muncul dan timbul dari niat dan kesempatan. Tidak ada faktor lain yang memacu dan memicu tindak pidana kejahatan.

Paradigma baru Polri memposisikan proses kejadian kejahatan sebagai produk komunitas Di bawah paradigma baru, kompleksitas masalah lebih rumit dibanding sekadar niat dan kesempatan. Terkadang daya juang Polri selalu kalah selangkah dibanding “kinerja” penjahat. Tindakan kepolisian selama ini seolah bukan tebang pilih, cuma tak mau  karena mengurus urusan yang sepele, bak membenturkan diri ke  tembok. Kejahatan benar-benar menjadi “a mirror of civilization.”

Jangan lupa memahami makna lambang Polri. Difilosofikan bahwa warna hitam adalah lambang keabadian dan sikap tenang mantap yang bermakna harapan agar Polri selalu tidak goyah dalam situasi dan kondisi apapun; tenang, memiliki stabilitas nasional yang tinggi dan prima agar dapat selalu berpikir jernih, bersih, dan tepat dalam mengambil keputusan.

Singkat kata, rekam jejak Polri pasca Reformasi, baik yang sempat direkam dan disiarkan/ditayangkan oleh proses rekayasa kefasikan media massa atau sengaja dimangkrakkan, mungkin ada bukti lain, atau ada kajian akademis yang lebih mampu membuktikan judul artikel ini. Semoga.  [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar