Halaman

Rabu, 02 September 2015

apkiran revolusi mental Nusantara, rakyat pro-pemerintah vs rakyat pro Jokowi

.
Wajar dan sesuai nalar, jika seseorang yang sudah berusia senja menanam biji buah kurma, dengan niat biar anak cucunya yang memettik buahnya, generasi berikutnya yang akan panen. Bukannya dengan semboyan ‘aji mumpung’ atau ‘mumpung aji’ menguras kandungan bumi, mengelupas sumber daya alam di permukaan bumi sampai darah terakhir, hanya untuk pemuas nafsu.

Yang tak wajar sekaligus diluar logika apapun, jika nenek moyang kita berjuang sampai keluar masuk penjara penjajah Belanda, Jepang bahkan pihak yang sedang berkuasa pasca Proklamasi, dengan satu tujuan yaitu Indonesia eksis secara de jure dan de facto. Mereka berjibaku tanpa pamrih, hanya ingin melihat Indonesia merdeka luar dalam. Ternyata malah anak cucunya mengkotak-kotak, mengkapling-kapling negara melalui pembagian wilayah kekuasaan partai politik. Merasa negara sebagai warisan dari nenek moyangnya.

Kehendak, takdir dan suratan sejarah, di periode 2014-2019, rakyat pemilih yang tidak memilih pasangan Jokowi-JK dan rakyat yang belum mempunyai hak pilih serta pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, adalah rakyat yang pro-pemerintah. Tanpa diminta, apalagi tanpa pamer, tanpa ditayangkan langsung oleh kefasikan media massa, mereka tetap berbuat buat bangsa, negara, dan masyarakat.

Sebaliknya, kawanan pendukung Jokowi-JK, sesuai tradisi ‘dengan umpan besar berharap dapat ikan besar’. Kalau perlu praktek sistem ijon atau ngijon, dengan cara modern yaitu barter politik. Tahun pertama sudah membuktikan betapa politik balas jasa, bagi hasil belum terlaksana tuntas. Karena masih antri para kawanan parpolis yang tergabung dalam KIH, bolo dupak, begundal, kroco, cecunguk, tukang kepruk yang belum kebagian. Bahkan mencium bau aroma berhala Reformasi 3K (kuasa, kaya, kuat) cuma mimpi. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar