.
Wajar dan sesuai nalar, jika
seseorang yang sudah berusia senja menanam biji buah kurma, dengan niat biar
anak cucunya yang memettik buahnya, generasi berikutnya yang akan panen.
Bukannya dengan semboyan ‘aji mumpung’ atau ‘mumpung aji’ menguras kandungan
bumi, mengelupas sumber daya alam di permukaan bumi sampai darah terakhir,
hanya untuk pemuas nafsu.
Yang tak wajar sekaligus diluar
logika apapun, jika nenek moyang kita berjuang sampai keluar masuk penjara
penjajah Belanda, Jepang bahkan pihak yang sedang berkuasa pasca Proklamasi, dengan
satu tujuan yaitu Indonesia eksis secara de jure dan de facto.
Mereka berjibaku tanpa pamrih, hanya ingin melihat Indonesia merdeka luar
dalam. Ternyata malah anak cucunya mengkotak-kotak, mengkapling-kapling negara
melalui pembagian wilayah kekuasaan partai politik. Merasa negara sebagai
warisan dari nenek moyangnya.
Kehendak, takdir dan suratan
sejarah, di periode 2014-2019, rakyat pemilih yang tidak memilih pasangan
Jokowi-JK dan rakyat yang belum mempunyai hak pilih serta pemilih yang tidak
menggunakan hak pilihnya, adalah rakyat yang pro-pemerintah. Tanpa diminta,
apalagi tanpa pamer, tanpa ditayangkan langsung oleh kefasikan media massa,
mereka tetap berbuat buat bangsa, negara, dan masyarakat.
Sebaliknya, kawanan pendukung
Jokowi-JK, sesuai tradisi ‘dengan umpan besar berharap dapat ikan besar’. Kalau
perlu praktek sistem ijon atau ngijon, dengan cara modern yaitu
barter politik. Tahun pertama sudah membuktikan betapa politik balas jasa, bagi
hasil belum terlaksana tuntas. Karena masih antri para kawanan parpolis yang
tergabung dalam KIH, bolo dupak, begundal, kroco, cecunguk, tukang kepruk
yang belum kebagian. Bahkan mencium bau aroma berhala Reformasi 3K (kuasa,
kaya, kuat) cuma mimpi. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar