Posisi tawar hakim
terkait nasib terdakwa sangat dominan, termasuk jual beli pasal sampai pasal
makan pasal. Hukum buatan manusia sangat luwes, bisa diintervensi sesuai
kebutuhan dan mempunyai daya jual. Hakim bisa melakukan kesalahan dalam membaca
pasal, yang baru ketahuan setelah terdakwa jadi terpidana. Atau seorang
pesakitan bisa bebas dari tuntutan seolah tidak melakukan kesalahan sekecil apa
pun, berkat jasa Sang Pengadil.
Profesi hamba hukum
(polisi, jaksa, hakim, pengacara, dsb) tidak steril dari suap. Proses hukum
yang dikemas pengacara, tentunya berbasis kekuatan Rp kliennya. Semakin
berbobot kasus, semakin besar bayaran pengacara. Bahkan jika seorang pengacara
mampun meloloskan kliennya dari jeratan dan tuntutan pasal, harga jualnya
semakin membubung. Posisi polisi sebagai penyidik atau yang mengawali proses
peradilan tak lepas dari pengaruh Rp. Jaksa dengan kemahirannya bisa menyulap
pasal dan bisa menerima pesanan.
Soal hukum bisa lepas
dari benar atau salah, tergantung baku mulut di pengadilan. Siapa pandai buka
mulut dan menyanyi sangat menentukan jalannya peradilan. Makin banyak kata yang
keluar, argo kemenangan sudah jalan. Tidak hanya terdakwa buta hukum yang jadi
sasaran empuk, yang gendut Rp bisa jadi obyek hukum.
Rotasi hakim untuk
menghindari suap, tidak menjamin berhasil dengan gemilang. Karena menyangkut
masalah akhlak. Hati nurani hakim berjalan paralel dengan profesi hakim. Hakim
masuk kategori “bisa dibeli”, di mana pun akan tetap melalukan tindak yang
identik. Modus operandi suap terkadang lebih maju daripada pasal hukum. Hakim
yang kebal suap mungkin tak bisa tahan terhadap intimidasi, terutama menyangkut
nasib keluarganya. Posisi hakim bisa dilematis, terutama jika tidak bersandar
pada hukum Allah. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar