Halaman

Minggu, 06 September 2015

HUBUNGI AKU KALAU INGIN MENANG


Posisi tawar hakim terkait nasib terdakwa sangat dominan, termasuk jual beli pasal sampai pasal makan pasal. Hukum buatan manusia sangat luwes, bisa diintervensi sesuai kebutuhan dan mempunyai daya jual. Hakim bisa melakukan kesalahan dalam membaca pasal, yang baru ketahuan setelah terdakwa jadi terpidana. Atau seorang pesakitan bisa bebas dari tuntutan seolah tidak melakukan kesalahan sekecil apa pun, berkat jasa Sang Pengadil.

Profesi hamba hukum (polisi, jaksa, hakim, pengacara, dsb) tidak steril dari suap. Proses hukum yang dikemas pengacara, tentunya berbasis kekuatan Rp kliennya. Semakin berbobot kasus, semakin besar bayaran pengacara. Bahkan jika seorang pengacara mampun meloloskan kliennya dari jeratan dan tuntutan pasal, harga jualnya semakin membubung. Posisi polisi sebagai penyidik atau yang mengawali proses peradilan tak lepas dari pengaruh Rp. Jaksa dengan kemahirannya bisa menyulap pasal dan bisa menerima pesanan.

Soal hukum bisa lepas dari benar atau salah, tergantung baku mulut di pengadilan. Siapa pandai buka mulut dan menyanyi sangat menentukan jalannya peradilan. Makin banyak kata yang keluar, argo kemenangan sudah jalan. Tidak hanya terdakwa buta hukum yang jadi sasaran empuk, yang gendut Rp bisa jadi obyek hukum.

Rotasi hakim untuk menghindari suap, tidak menjamin berhasil dengan gemilang. Karena menyangkut masalah akhlak. Hati nurani hakim berjalan paralel dengan profesi hakim. Hakim masuk kategori “bisa dibeli”, di mana pun akan tetap melalukan tindak yang identik. Modus operandi suap terkadang lebih maju daripada pasal hukum. Hakim yang kebal suap mungkin tak bisa tahan terhadap intimidasi, terutama menyangkut nasib keluarganya. Posisi hakim bisa dilematis, terutama jika tidak bersandar pada hukum Allah. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar