bahaya laten komunis di balik kekuasaan terselubung
dan berbingkai
Orang tergelincir
karena ulah kaki dan olah lidahnya. Orang mampu menyesatkan dirinya sendiri akibat
mendewakan akal, mengedepankan kinerja otaknya, mengandalkan logika pikirannya.
Orang secara sadar mengkerdilkan dirinya sendiri ketika mimpi dan ambisi politiknya
tak segera terwujud. Karir politik seseorang bisa dipacu dan dipicu, bisa
direkayasa, bisa dikarbit dan diorbitkan sejak dini, bisa didongkrak dan
dikatrol habis-habisan, bak deret ukur. Namun jiwanya tetap berkembang sesuai
deret hitung. Bahkan raganya tak mampu mewadahi percepatan karir politiknya.
Memang, jabatan presiden
sejak 2004 dipilih langsung oleh rakyat yang mempunyai hak pilih. Ketika dasar negara
Pancasila teruji kesaktiannya oleh peristiwa pemberontakan jilid dua Partai
Komunis Inodensia, Gerakan 30 September 2015. Mungkin kita tidak lupa jika jiwa
Nasakom Orde Lama masih gentayangan di Nusantara.
Faham komunis
terkubur oleh sejarah tapi tetap tidak terkubur sampai hancur lebur. Ketika
anak bangsa menjadikan politik/partai politik sebagai agama baru, secara tak
langsung membangkitkan dan menyuburkan faham dan ajaran komunis. Komunis
mendapat lahan baru karena maraknya gerakan anti-monotheis.
Secara pesimistis,
kita melihat buih dan riak politik di periode 2014-2019 sebagai indikasi peran
nyata kawanan parpolis. Perombakan Kabinet Kerja bisa juga sebagai indikasi
rapuh, rawan, rentan dan riskannya ‘karir politik’ penyelenggara negara. Dampak
atau efek domino perombakan kabinet akan menerus, menjadi titik retak persatuan
dan kesatuan bangsa. Semakin diperparah tim sukses yang belum dapat jatah balas
jasa dan balas budi.
Inilah tabiat anak
bangsa yang tidak mau berkeringat memperbaiki sejarah masa depan. Kilah polisi,
kejahatan atau tindak kriminal muncul karena ada kesempatan. Ironis, justru
oknum penyelenggara dengan sadar memberi peluang dan kesempatan untuk calon
pelaku kejahatan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar