Kamis, 10/10/2002
09:19
Proses seleksi alami
terhadap kepemimpinan nasional/penyelenggara negara/ pejabat publik terus
meluncur mulus di era reformasi ini. Mulai presiden yang berguguran sampai yang
sudah kebaca modus operandinya. Rata-rata mereka mempunyai modus operandi (=
modal dusta dan mengoper-operkan tangggung jawab atau harus pandai
bersandiwara) yang sama dan tipikal. Baik yang sedang nongkrong di pusat sampai
yang sedang merambah daerah-daerah. Sisanya yaitu mereka yang merasa dirinya
pantas untuk berpentas dengan jalan pintas; ada yang menebak dirinya layak jadi
pemain watak; ada yang menduga dirinya patut untuk diturut; ada yang yang
menyangka dirinya pas untuk memakai jas kebesaran; ada yang mengira dirinya
yang paling cocok sebagai pemimpin kocokan hasil pemilu.
Tak kurang yang
menampakkan batang hidungnya yang mekar gede - yang menyiratkan pandai
mengendus-endus kesempatan, ada yang kelihatan tampilan hidung belangnya sampai
harus tunjuk hidung baru bereaksi dan beraksi. Minimal sampai dengan tahun 2004
sudah kebaca siapa-siapanya yang terseleksi.
Berpenampilan
malu-malu kucing tetapi tak malu hati bila ketahuan juntrung-juntrungnya.
Itulah kucing-kucing Indonesia. Kendati sudah ketahuan mendapat kartu merah
banyak yang tetap ngotot mempertahankan posisinya. Khususnya pada posisi
penggasak, pengeruk dan penadah. Luncuran gerombolan "kucing-kucing"
dari era Orde Baru masih banyak yang berkeliaran di lapangan, ditimpali
kucing-kucing lokal yang tak kalah liarnya. Giliran meong-meong kucing berebut
bola liar memeriahkan seleksi nasional. Bagi kucing-kucing yang belum digilir,
peras otak bak berpikir dan hanya sedikit yang berzikir. Ternyata karungnya
bocor, banyak lubang hasil rekayasa genetik, bukannya mengempis. Karung semakin
membesar. Penuh berisi kucing-kucing. Entah kapan masuknya dan dari lobang mana
menerobosnya.
Akhirnya Indonesia
mewariskan (atau tepatnya kewarisan) satu karung besar berisi aneka ragam
kucing. Ada kucing pohon, ada kucing binatang, ada kucing ras, ada kucing
pernakan, ada kucing boneka sampai kucing kudisan. Padahal kucing-kucing di
luar karung banyak yang masih berseliweran. Terkontaminasi oleh zaman akhirnya
menjadi kebal hukum, tak lagi malu-malu kucing karena masih tetap
"lapar" dan "haus" dan tentunya semua pandai main kucing-kucingan.
"Tahi kucing lu!", hardik tetangga ketika kebagian tahi kucing.
Kalau kucing
Indonesia makan dan berak "di dalam". Inilah yang menyebabkan bangsa
lain iri terhadap kemakmuran "kucing" Indonesia. Mulai kucing
berdasi, kucing penjaga lumbung padi sampai kucing makan tanah. Tikus-tikus
penggerogot uang negara pun tunggang langgang mendapat saingan kucing-kucing
yang "lolos" dari karung. Demikianlah cerita serial bak "membeli
kucing dalam karung" dalam episode "tinggal kucing dalam
karung", entah karena sekarang tikus berbulu kucing. (hn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar