Halaman

Kamis, 10 Juli 2014

TINGGAL KUCING DI KARUNG

Beranda » Berita » Opini
Kamis, 10/10/2002 09:19

Proses seleksi alami terhadap kepemimpinan nasional/penyelenggara negara/ pejabat publik terus meluncur mulus di era reformasi ini. Mulai presiden yang berguguran sampai yang sudah kebaca modus operandinya. Rata-rata mereka mempunyai modus operandi (= modal dusta dan mengoper-operkan tangggung jawab atau harus pandai bersandiwara) yang sama dan tipikal. Baik yang sedang nongkrong di pusat sampai yang sedang merambah daerah-daerah. Sisanya yaitu mereka yang merasa dirinya pantas untuk berpentas dengan jalan pintas; ada yang menebak dirinya layak jadi pemain watak; ada yang menduga dirinya patut untuk diturut; ada yang yang menyangka dirinya pas untuk memakai jas kebesaran; ada yang mengira dirinya yang paling cocok sebagai pemimpin kocokan hasil pemilu.

Tak kurang yang menampakkan batang hidungnya yang mekar gede - yang menyiratkan pandai mengendus-endus kesempatan, ada yang kelihatan tampilan hidung belangnya sampai harus tunjuk hidung baru bereaksi dan beraksi. Minimal sampai dengan tahun 2004 sudah kebaca siapa-siapanya yang terseleksi.

Berpenampilan malu-malu kucing tetapi tak malu hati bila ketahuan juntrung-juntrungnya. Itulah kucing-kucing Indonesia. Kendati sudah ketahuan mendapat kartu merah banyak yang tetap ngotot mempertahankan posisinya. Khususnya pada posisi penggasak, pengeruk dan penadah. Luncuran gerombolan "kucing-kucing" dari era Orde Baru masih banyak yang berkeliaran di lapangan, ditimpali kucing-kucing lokal yang tak kalah liarnya. Giliran meong-meong kucing berebut bola liar memeriahkan seleksi nasional. Bagi kucing-kucing yang belum digilir, peras otak bak berpikir dan hanya sedikit yang berzikir. Ternyata karungnya bocor, banyak lubang hasil rekayasa genetik, bukannya mengempis. Karung semakin membesar. Penuh berisi kucing-kucing. Entah kapan masuknya dan dari lobang mana menerobosnya.

Akhirnya Indonesia mewariskan (atau tepatnya kewarisan) satu karung besar berisi aneka ragam kucing. Ada kucing pohon, ada kucing binatang, ada kucing ras, ada kucing pernakan, ada kucing boneka sampai kucing kudisan. Padahal kucing-kucing di luar karung banyak yang masih berseliweran. Terkontaminasi oleh zaman akhirnya menjadi kebal hukum, tak lagi malu-malu kucing karena masih tetap "lapar" dan "haus" dan tentunya semua pandai main kucing-kucingan. "Tahi kucing lu!", hardik tetangga ketika kebagian tahi kucing.

Kalau kucing Indonesia makan dan berak "di dalam". Inilah yang menyebabkan bangsa lain iri terhadap kemakmuran "kucing" Indonesia. Mulai kucing berdasi, kucing penjaga lumbung padi sampai kucing makan tanah. Tikus-tikus penggerogot uang negara pun tunggang langgang mendapat saingan kucing-kucing yang "lolos" dari karung. Demikianlah cerita serial bak "membeli kucing dalam karung" dalam episode "tinggal kucing dalam karung", entah karena sekarang tikus berbulu kucing. (hn)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar