Halaman

Sabtu, 05 Juli 2014

Mulai Kapan Anak Berhak Memeluk Agamanya

Mulai Kapan Anak Berhak Memeluk Agamanya
Oleh : Herwin Nur

Pemeo bahwa yang baik dan benar tidak akan jadi kabar, tidak akan disiarkan oleh media penyiaran televisi, ada benarnya. Pasca perceraian pasangan suami isteri (pasutri), secara individu dengan bangga tampil di layar kaca sebagai bintang tamu dalam acara, atraksi maupun adegan yang mirip, berulang, tetapi waktu berbeda. Tanpa merasa bersalah apalagi berdosa, saling membuka aib mantan pasangannya.

Ada baiknya kita mencermati berita, walau satu agama, karena beda aliran, pasutri bercerai. Kondisi ini mengajak kita melihat realita kehidupan dan nuansa agama Islam dalam keluarga. Bukan jaminan jika bapak/ibunya haji, keluarganya menjadi islami, anaknya tinggal menapak tilas. Pengaruh lingkungan disertai gaya hidup, gengsi dan gaul yang dianut suatu keluarga, berdampak secara sistemik pada akidah anak keturunannya. Anak yuridis mamupun anak biologis memang terjadi, tetapi anak ideologis, tidak terjadi secara alami.

Kehidupan islami dalam keluarga bisa mengalami pasang surut. Ibu rumah tangga atau wanita karier, bukan alasan kadar keislaman anak tergerus. Anak yang nampak manis, tidak bermasalah, atau menjadi anak mama, tiba-tiba tampil beda. Tertarik atau terpengaruh aliran tertentu. Memang, anak dan remaja Islam, menjadi sasaran utama aliran tertentu. Paling runyam jika ganti akidah, atau tampilannya nampak islami namun jiwanya sudah mengalami alih nuansa.

Sesama saudara kandung belum tentu tingkatan IQ-nya dalam kategori yang sama. Apakah ini berarti bahwa kadar keislaman antar anak kandung bisa berbeda. Semua anaknya hanya menyelesaikan atau berijazah SMA, bisa terjadi dalam pendidikan formal. Bukan berarti orang tua memberikan pendidikan agama pada anaknya ada batas formalnya. Bakat beragama menurun secara genetis, tinggal bagimana orang tua mempunyai faktor ajar, panutan dan sikap keseharian dalam rumah tangga.

Bahasa Hukum
Hak memeluk agama dan meyakini kepercayaan, tersurat dalam UUD RI 1945 (perubahan kedua), yaitu pada Pasal 28E ayat (1) dan (2) :

Pasal 28E
(1)       Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2)       Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Makna “bebas memeluk agama” tidak sekedar mengikuti bahasa hukum yaitu  “tanpa adanya paksaan dari siapapun juga”.  Juga, bukan berarti sesorang setelah cukup umur, berakal, dan mampu, baru berhak beragama. Tepatnya, Islam karena keturunan, akibat geografis atau lingkungan domisili, seolah tidak layak dipakai.

Mengacu UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya pada :

Pasal 22
(1)       Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2)      Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.

Pasal 55
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.

Ada kesan yuridis, jika seorang anak [anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan] setelah jadi “orang”, bebas memeluk agamanya masing-masing.
.
Mengacu UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya pada :
Pasal 42
(1)       Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
(2)      Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.

UU 23/2002 ditetapkan berdasarkan a.l. UU 39/1999, bukan berarti ada benang merahnya lintas antar pasal. Penjelasan UU 23/2002 untuk pasal 42 hanya untuk ayat (2) tersurat :
“Anak dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang-unangan yang berlaku.”

Penjelasan pasal 42 ayat (1) tersurat “cukup jelas”, bukan berarti selama proses perjalanan waktu anak, terjadi proses pembiaran. Pemerintah melihat proses beragamanya seseorang ditentukan oleh batasan umur/usia.

Bahasa Hadits
Salah satu hadits terkait tulisan ini adalah : “Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah hingga ia fasih (berbicara), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir.

Manusia difitrahkan (memiliki sifat pembawaan sejak lahir) dengan kuat di atas Islam. Akan tetapi, tentu harus ada pembelajaran Islam dengan perbuatan/tindakan. Siapa yang Allah takdirkan termasuk golongan orang-orang yang berbahagia, niscaya Allah akan menyiapkan untuknya orang yang akan mengajarinya jalan petunjuk sehingga jadilah dia dipersiapkan untuk berbuat (kebaikan).

Sebaliknya, siapa yang Allah ingin menghinakannya dan mencelakakannya, Allah menjadikan sebab yang akan mengubahnya dari fitrahnya dan membengkokkan kelurusannya. Hal ini sebagaimana keterangan yang ada dalam hadits tentang pengaruh yang dilakukan kedua orang tua terhadap anaknya yang menjadikan si anak beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (sumber : http://asysyariah.com/anak-lahir-di-atas-fitrah/)

Saran
Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum, menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya. Mayoritas penduduk memeluk agama Islam, justru tantangan umat Islam menjadi nyata dan terukur. Niat dan itikad pihak yang berharap kolom agama dihapus dari E-KTP, sebagai tantangan formal.

Mencari calon pasangan hidup, faktor agama sebagai pilihan utama. Faktor lainnya jangan dianaktirikan. Membentuk keluarga islami, menyiapkan keturunan yang  tidak sekedar sebagai penerus silsilah, tetapi sebagai generasi masa depan dalam prespektif Islam. Menjadi cita-cita bersama, untuk menjadikan anak sebagai investasi akhirat. Perjalanan hidup dan masa depan anak diwarnai oleh akumulasi, gabungan maupun resultan dari emosi, karakter  dan nilai religi ibu bapaknya.


Pendidikan agama tidak hanya sejak dalam kandungan, bahkan diawali sejak seseorang mencari jodohnya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar