Kamis, 31/07/2003
08:27
MERAJUT POLA
KEPEMIMPINAN NASIONAL LIMA TAHUNAN
Fatamorgana yang
menghalang pandang demokrasi kita adalah Pemilu 2004 yang akan tampil beda
dengan 7 kali pemilu sebelumnya. Banyak parpol yang sudah curi start di
jalanan. Diperparah dengan langkah awal capres untuk unjuk raga dengan
pertolongan media massa. Potret buram era Reformasi menyisakan
"dendam" 3 RI-1, dengan segudang alasan yang berbeda tapi nyaris
sedarah.
Agar MPR proaktif
dengan berbagai Tap yang mengandung muatan antisipasi agar lima tahun jabatan
RI-1 dan RI-2 bisa terpenuhi atau diliwati dengan aman. Jika ada tindak
gangguan di masa jabatan, gangguan inilah yang harus ditangani secara arif,
bijak dan indonesiawi. Bukan sekedar mengganti sang sopir! Apa guna adanya
rambu-rambu penyelenggara negara, polisi pengawas lancarnya roda pemerintahan.
Dari sekian jajaran
yang anti Pancasila dan UUD 1945 (meminjam istilah stigma Orde Baru terhadap
oposan) diduga pasti datangnya dari kawanan kader partai politik yang tidak
kebagian kursi apalagi pundi-pundi. Sejarah satu babak Reformasi telah
membuktikan bahwa bongkar pasang "sopir negara" di tengah jalan atau
ketika kontraknya belum usai tidak menjamin perjalanan bangsa ini menjadi lebih
mulus - malah menimbulkan banyak lubang hutang kemasyarakatan (disintegrasi,
krisis berkelanjutan, preman berdasi) dan masuk perangkap pemurtadan massal
hampir di segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Sedangkan bagi kader
partai politik yang sedang naik panggung ataupun sedang melayang naik daun, akan
menanggung "beban hutang balas jasa". Fenomena inilah yang menjadikan
masa jabatan lima tahun mungkin dirasa sebentar, terlebih jika dikalkulasi
belum balik modal. Akhir kata, janganlah rakyat dijadikan obyek tata
kepemerintahan yang betul, benar dan baik. (hn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar