Selasa, 01/10/2002 10:30
DAUR
ULANG PANCASILA SAKTI
Pancasila dasar
negara, rakyat adil makmur sentausa, ternyata Pancasila enak didendangkan
dengan semangat patriotisme. Bahkan yel-yel :"Hidup Pancasila!!",
sebagai senjata kaum pengunjuk rasa suatu saat. Setia pada Pancasila dan UUD
1945 merupakan syarat utama untuk menduduki jabatan. Menurut silsilah sejarah
Pancasila tak pernah lahir (cuma digali dari rakyat) tetapi sakti.
Sedemikan saktinya
sehingga dijadikan asa tunggal dalam berbangsa dan bernegara. Minimal lewat P4
telah menjadikan bangsa ini sadar dalam berbangsa dan bernegara. Soal
bermasyarakat dan beragama itu urusan individu yang bersangkutan. Jelasnya yang
masuk kategori Pancasila Phobi apalagi yang dicap Anti Pancasila akan dilibas
habis tujuh turunan. Kiat ini merupakan senjata ampuh pemerintah untuk meredam
aspirasi masyarakat yang menuntut keadilan dan kebenaran.
Kalau ditelusuri
secara seksama dan dalam tempo seadanya dapat dibuktikan bahwa ternyata lengser
keprabonnya para presiden RI akibat tidak menghayati dan mengamalkan Pancasila.
Dimulai dari sila
pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa", selaku
presiden RI pertama, Soekarno, dengan lapang dada mempersilahkan Partai Komunis
Indonesia (PKI) untuk hidup kembali. Kendati secara terang-terangan PKI pernah
menusuk dari belakang. Pembentukan Nasakom (nasionalis, agama dan komunis)
menjadi format utama dalam berbangsa dan bernegara. Semua berakhir dengan
pengkhianatan PKI melalui Gerakan 30 September 1965.
Tahap berikutnya
adalah menguji "kesaktian" sila kedua, "Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab", oleh presiden RI kedua,
Soeharto. Sesuai kepiawaian "6 jam di Yogya" dalam peristiwa
pemutarbalikkan sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949, tak disadari bahwa Bapak
Pembangunan Soeharto bisa berkuasa selama 6 kali Pemilu. Demi pembangunan atau
pembangunan yang merata (= menggusur rakyat jelata) menjadi slogan yang heroik
bagi aparat pemerintah. Politik hantam kromo merupakan pasal yang sah dalam
memurnikan Pancasila. Hasilnya adalah memakmurkan yang kaya sampai tingkat
konglomerat (khusunya yang dekat dengan poros kekuasaan) dan mengadili si
miskin hingga menjadi keluarga pra-miskin. Proses memanusiakan manusia
Indonesia seutuhnya berakhir 21 Mei 1998.
Uji coba
"kesaktian" sila ketiga, "Persatuan Indonesia", oleh presiden
RI ketiga, BJ Habibie, dengan kiat teknologi menyatukan Indonesia lewat
dirgantara, dari Sabang sampai Merauke. Kebetulan posisi Timor Timur di luar
jaring dirgantara akhirnya berhasil memerdekakan diri. Dengan Otnomi Daerah
menyebabkan kemandirian yang kebablasan. Menghadapi wakil rakyat yang baru
lepas dari pingitan demokrasi berakhirlah riwayatnya sebagai presiden.
Keampuhan persatuan Indonesia diwujudkan dalam bersatunya suara wakil rakyat
dalam menghadapi sang mandataris MPR.
Panggilan Gus Dur
bagi presiden RI keempat yang menjajal "kesaktian" sila keempat,
"Kerakyatan Yang
Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan". Hasilnya sama-sama babak belur. Sama-sama
saling memlintir kebijaksanaan. Yang jadi korban, dari zaman ke zaman, tetap
rakyat. Dekrit Presiden berakhir sebelum lahir. Jangan heran kalau akhirnya
para wakil rakyat yang terhormat bisa naik derajat, pangkat, martabat dan
harkat - antara lain menjadi konglomerat mini.
Berikutnya, dan masih
bergulir yaitu test case terhadap "kesaktian" sila kelima, "Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia", oleh Ibu Mega
yang sedang / masih menyandang mandataris MPR kelima. Dengan falsafah diam itu
emas, maka keadilan sosial lebih diterjemahbebaskan sebagai kesempatan bekerja
di luar negeri sebagai TKI. Memakmurkan orang kaya dalam bentuk kebebasan bagi
pejabat untuk meraup dana non-bujeter, yang nyaris tak tersentuh hukum.
Bukannya mengantisipasi intimidasinya IMF. Atau lebih menyatakan prinsip
berdikari di bidang ekonomi. Di sisi lain, memang ada hubungan historis antar
presiden yaitu dalam permainan anak untuk menentukan kalah menang di adu dengan
pingsut. 3 jari yang digunakan. Ibu jari bisa menundukkan telunjuk tetapi kalah
oleh kelingking. Telunjuk bisa menaklukkan kelingking tetapi tidak bisa berbuat
apa-apa melawan ibu jari. Kelingking bisa menelikung ibu jari tetapi dengan
mudah ditekuk oleh telunjuk.
Memasuki 57 tahun RI,
kita baru memiliki 5 presiden. Ibarat jari kita sudah punya 5 jari dan sudah
bisa untuk mengepalkan dan melayangkan tinju, melawan kemiskinan di segala
bidang kehidupan. Itupun kalau kompak.
Demikian kisahnya,
presiden pertama RI diibaratkan dengan ibu jari karena sebagai proklamator.
Bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin mengacungkan ibu jari kepada Soekarno.
Sejarah kemudian membuktikan bahwa ibu jari bisa ditundukkan oleh telunjuk!
Soeharto sebagai
telunjuk, utawa presiden RI ke 2, bisa me-tahananrumah-kan si ibu jari, sampai
meninggal. Orang akan girang kalau ditunjuk Soeharto sebagai pembantunya. Baru
bekerja setelah dapat petunjuk bapak presiden. Tetapi akan mati tujuh turunan
kalau dituding sebagai anti UUD 1945 dan anti Pancasila. Karena hobinya main
tunjuk akhirnya Soeharto lengser, karena sudah tidak ada petunjuk lagi. Kalau
telunjuk mau kompak dengan ibu jari pasti mampu untuk nylentik maupun njewer
koruptor.
Si jari tengah,
memang sesuai fungsinya sebagai penengah atau pemisah. Akhirnya presiden RI ke
3 berhasil memisahkan Timor Timur dari NKRI.
Si jari manis, kalau diam
kelihatan manis. Kalau berulah bisa bikin kalang kabut. Bisa menggelitik secara
lembut. Karena ulahnya si jari manis tercabut akarnya sebagai presiden RI ke 4.
Kisah sekarang,
keberadaan si kelingking sebagai presiden RI ke 5 yang justru kebetulan anak
kandung ibu jari. Jelas tidak bisa membersihkan KKN sisa rezim si telunjuk !
secara formal si kelingking akan mudah ditekuk oleh telunjuk. Toh bangsa dan
rakyat Indonesia cukup merasa nikmat dikorek-korek lubang hidung dan lubang
telinganya dengan kelingking.
Akhir kisah, kita
nanti akan main hom pim pah saja. Kesaktian Pancasila tak perlu diuji coba
lagi, tak perlu didewa-dewakan lagi, tak perlu diperdebatkan akurasinya dalam
mewujudkan mayarakat yang adil dan makmur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar