wibawa negara larut akibat unsur pidana garam tidak
lagi asin
Tanah airku Indonesia,
serasa kurang lengkap. Menjadi tanah, air, udaraku Indonesia. Bukan cita-cita
para pendiri bangsa bahwasanya kelak, suatu ketika, pada saatnya Indonesia
mampu ekspor asap gratis ke negara tetangga. Sebagai pemasok polusi asap
karhutla ke negera terdekat.
Ibu Pertiwi sejauh
sedekat ini tetap tidak mau protes, hanya mengsuap dada, goyang kepala. Sambil menghela nafas panjang pun tersendat. Akibat komposisi
udara nasional yang didominasi dengan baku ujaran kebencian. Menjadi saksi atas
aneka tindak tutur ucap, sampai mata penat menyaksikan aksi heroik, patriotisme dan nasonalisme para penyelenggara negara.
Di luar karhutla, alam
tak hentinya menyapa dan mengingatkan penghuni Nusantara akan arti persatuan
dan kesatuan Indonesia. Batuknya gunung berapi seolah mudah kambuh atau peka
terhadap situasi nasional.
Anomali musim kemarau
dan/atau musin penghujan, sulit diprakirakan kapan “manggung”-nya. Kita menjadi
akrab, familiar da terbiasa dengan multibencana. Dampak keserakahan orang dan/atau
manusia Indonesia sudah melampaui ambang batas kewajaran.
Keserakahan karena
rayuan aneka bentuk, jenis ideologi yang berlaku di dunia, terdapat bebas di
Nusantara. Hebatnya, pemerintah menyediakan diri untuk masukinya ‘penjahat
impor’. Efek ramah investor, maka alih teknologi asing, penggunaan barang dan
bahan baku asing, transfer imu pengetahuan, pemanfaat tenaga kerja asing sampai
pekerja kasar.
Ibarat memindahkan
sebagian wilayah asing menjejali Nusantara.
Gemilang tol laut Jokowi
plus minus JK, masih berjaya di atas kertas. Prestasi diraih dengan kasus dan dampak nyata akibat kandas dan
diseretnya atau “kecelakaan kapal” pesiar asing MV Caledonian Sky berbendera
Bahama, yang berbobot 4.200 GT (gross tonnage),
di daerah tujuan wisata bawah laut Raja Ampat, provinsi Papua Barat, sabtu 4
Maret 2017, malah menyuratkan dan menyiratkan PR (pekerjaan rumah) besar bangsa
dan negara Indonesia. Atau paling tidak ada yang bisa kita rasakan, “sepertinya
ada yang salah” di pengelolaan laut Nusantara. Tepatnya menurut kamus dan
bahasa politik yaitu kemanfaatan Tol Laut andalan Jokowi-JK.
Secara awam dan umum, kita membayangkan betapa luas dan
panjang wilayah perairan NKRI, maupu landas kontinen Indonesia. Salah satu sisinya berhubungan langsung dengan laut
terbuka (Samudera Hindia dan Samudera Atlantik) namun sekaligus juga di sisi lainnya berbatasan langsung
dengan daratan, atau pesisir pantai pulau/kepulauan. Indonesia memiliki 17.499
pulau, dengan luas perairan lautnya mencapai 5,9 juta km2 dan garis pantai
sepanjang 81.000 km.
Indonesia memiliki potensi wilayah
laut yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya, antara lain kandungan cadangan
minyak, gas alam, pariwisata bahari, perikanan tangkap dan budidaya kelautan
lain. Khususnya di sektor transportasi, wilayah laut Indonesia tidak saja
berfungsi untuk menghubungkan seluruh kepulauannya, namun juga melayani
angkutan laut/logistik internasional yang melintasi Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI).
Berdasarkan perhitungan pakar
maritim Indonesia diperkirakan sekitar 90% perdagangan international diangkut
melalui laut, sedangkan 40% dari rute perdagangan internasional tersebut melewati
Indonesia. Angka yang luar biasa. Hal ini berarti, Indonesia sampai kapanpun
akan menjadi tempat strategis dalam peta dunia. (Bappenas, 2015)
Jangan lupa kawan dengan
Undang-Undang nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Fokus pada :
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam Undang-Undang ini
yang dimaksud dengan:
1.
Perlindungan Nelayan,
Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam adalah segala upaya untuk membantu
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dalam menghadapi permasalahan
kesulitan melakukan Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman.
2.
Pemberdayaan Nelayan,
Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam untuk melaksanakan Usaha
Perikanan atau Usaha Pergaraman secara lebih baik.
3.
Nelayan adalah Setiap
Orang yang mata pencahariannya melakukan Penangkapan Ikan.
4.
Nelayan Kecil adalah
Nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang
menggunakan kapal penangkap Ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gros ton
(GT).
5.
Nelayan Tradisional
adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan di perairan yang merupakan hak
Perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai
dengan budaya dan kearifan lokal.
6.
Nelayan Buruh adalah
Nelayan yang menyediakan tenaganya yang turut serta dalam usaha Penangkapan
Ikan.
7.
Nelayan Pemilik adalah
Nelayan yang memiliki kapal penangkap Ikan yang digunakan dalam usaha
Penangkapan Ikan dan secara aktif melakukan Penangkapan Ikan.
8.
Penangkapan Ikan adalah
kegiatan untuk memperoleh Ikan di perairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat dan cara yang mengedepankan asas keberlanjutan dan
kelestarian, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
9.
Pembudi Daya Ikan adalah
Setiap Orang yang mata pencahariannya melakukan Pembudidayaan Ikan air tawar,
Ikan air payau, dan Ikan air laut.
10. Pembudi Daya Ikan Kecil adalah Pembudi Daya Ikan yang
melakukan Pembudidayaan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
11. Penggarap Lahan
Budi Daya adalah Pembudi Daya Ikan yang menyediakan tenaganya dalam
Pembudidayaan Ikan.
12. Pemilik Lahan Budi Daya adalah Pembudi Daya Ikan yang
memiliki hak atau izin atas lahan dan secara aktif melakukan kegiatan
Pembudidayaan Ikan.
13. Pembudidayaan Ikan adalah kegiatan untuk memelihara,
membesarkan, dan/atau membiakkan Ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan
yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau
mengawetkannya.
14. Petambak Garam adalah Setiap Orang yang melakukan
kegiatan Usaha Pergaraman.
15. Petambak Garam Kecil adalah Petambak Garam yang melakukan
Usaha Pergaraman pada lahannya sendiri dengan luas lahan paling luas 5 (lima)
hektare, dan perebus Garam.
16. Penggarap Tambak Garam adalah Petambak Garam yang
menyediakan tenaganya dalam Usaha Pergaraman.
17. Pemilik Tambak Garam adalah Petambak Garam yang memiliki
hak atas lahan yang digunakan untuk produksi Garam dan secara aktif melakukan
Usaha Pergaraman.
18. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau
sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
19. Garam adalah senyawa kimia yang komponen utamanya berupa
natrium klorida dan dapat mengandung unsur lain, seperti magnesium, kalsium,
besi, dan kalium dengan bahan tambahan atau tanpa bahan tambahan iodium.
20. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya Ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pascaproduksi, dan pengolahan sampai dengan pemasaran
yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis Perikanan.
21. Pergaraman adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
praproduksi, produksi, pascaproduksi, pengolahan, dan pemasaran Garam.
22. Usaha Perikanan adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan
sistem bisnis Perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pascaproduksi,
pengolahan, dan pemasaran.
23. Usaha Pergaraman adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan
sistem bisnis Pergaraman yang meliputi praproduksi, produksi, pascaproduksi,
pengolahan, dan pemasaran.
24. Komoditas Perikanan adalah hasil dari Usaha Perikanan
yang dapat diperdagangkan, disimpan, dan/atau dipertukarkan.
25. Komoditas Pergaraman adalah hasil dari Usaha Pergaraman
yang dapat diperdagangkan, disimpan, dan/atau dipertukarkan.
26. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi,
baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
27. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau korporasi
yang melakukan usaha prasarana dan/atau sarana produksi Perikanan, prasarana
dan/atau sarana produksi Garam, pengolahan, dan pemasaran hasil Perikanan,
serta produksi Garam yang berkedudukan di wilayah hukum Republik Indonesia.
28. Kelembagaan adalah lembaga yang ditumbuhkembangkan dari,
oleh, dan untuk Nelayan, Pembudi Daya Ikan, atau Petambak Garam atau
berdasarkan budaya dan kearifan lokal.
29. Asuransi Perikanan adalah perjanjian antara Nelayan atau
Pembudi Daya Ikan dan pihak perusahaan asuransi untuk mengikatkan diri dalam
pertanggungan risiko Penangkapan Ikan atau Pembudidayaan Ikan.
30. Asuransi Pergaraman adalah perjanjian antara Petambak Garam
dan pihak perusahaan asuransi untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko
Usaha Pergaraman.
31. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh
perusahaan penjaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Nelayan, Pembudi Daya
Ikan, dan Petambak Garam kepada perusahaan pembiayaan dan bank.
32. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh
Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
33. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kelautan dan Perikanan.
Jadi kalau ada pihak merekayasa
agar garam, bahwa garam memerlukan birokrasi dan tata niaga garam, yang panjang,
terjal, berliku agar sampai di dapur rakyat, karena ongkos produksi dan biaya
perkara, biaya politik malah menggiurkan pihak-pihak tertentu.
Akankah rakyat semakin
sulit melek politik karena susah memakan asam garamnya kehidupan nyata. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar