Halaman

Kamis, 10 Agustus 2017

wibawa negara larut akibat unsur pidana garam tidak lagi asin



wibawa negara larut akibat unsur pidana garam tidak lagi asin

Tanah airku Indonesia, serasa kurang lengkap. Menjadi tanah, air, udaraku Indonesia. Bukan cita-cita para pendiri bangsa bahwasanya kelak, suatu ketika, pada saatnya Indonesia mampu ekspor asap gratis ke negara tetangga. Sebagai pemasok polusi asap karhutla ke negera terdekat.

Ibu Pertiwi sejauh sedekat ini tetap tidak mau protes, hanya mengsuap dada, goyang kepala. Sambil  menghela nafas panjang pun tersendat. Akibat komposisi udara nasional yang didominasi dengan baku ujaran kebencian. Menjadi saksi atas aneka tindak tutur ucap, sampai mata penat menyaksikan aksi heroik, patriotisme dan nasonalisme para penyelenggara negara.

Di luar karhutla, alam tak hentinya menyapa dan mengingatkan penghuni Nusantara akan arti persatuan dan kesatuan Indonesia. Batuknya gunung berapi seolah mudah kambuh atau peka terhadap situasi nasional.

Anomali musim kemarau dan/atau musin penghujan, sulit diprakirakan kapan “manggung”-nya. Kita menjadi akrab, familiar da terbiasa dengan multibencana. Dampak keserakahan orang dan/atau manusia Indonesia sudah melampaui ambang batas kewajaran.

Keserakahan karena rayuan aneka bentuk, jenis ideologi yang berlaku di dunia, terdapat bebas di Nusantara. Hebatnya, pemerintah menyediakan diri untuk masukinya ‘penjahat impor’. Efek ramah investor, maka alih teknologi asing, penggunaan barang dan bahan baku asing, transfer imu pengetahuan, pemanfaat tenaga kerja asing sampai pekerja kasar.

Ibarat memindahkan sebagian wilayah asing menjejali Nusantara.

Gemilang tol laut Jokowi plus minus JK, masih berjaya di atas kertas. Prestasi diraih dengan kasus  dan dampak nyata akibat kandas dan diseretnya atau “kecelakaan kapal” pesiar asing MV Caledonian Sky berbendera Bahama, yang berbobot 4.200 GT (gross tonnage), di daerah tujuan wisata bawah laut Raja Ampat, provinsi Papua Barat, sabtu 4 Maret 2017, malah menyuratkan dan menyiratkan PR (pekerjaan rumah) besar bangsa dan negara Indonesia. Atau paling tidak ada yang bisa kita rasakan, “sepertinya ada yang salah” di pengelolaan laut Nusantara. Tepatnya menurut kamus dan bahasa politik yaitu kemanfaatan Tol Laut andalan Jokowi-JK.

Secara awam dan umum, kita membayangkan betapa luas dan panjang wilayah perairan NKRI, maupu landas kontinen Indonesia. Salah  satu sisinya berhubungan langsung dengan laut terbuka (Samudera Hindia dan Samudera Atlantik) namun sekaligus  juga di sisi lainnya berbatasan langsung dengan daratan, atau pesisir pantai pulau/kepulauan. Indonesia memiliki 17.499 pulau, dengan luas perairan lautnya mencapai 5,9 juta km2 dan garis pantai sepanjang 81.000 km.

Indonesia memiliki potensi wilayah laut yang dapat dioptimalkan peman­faatannya, antara lain kandungan cadangan minyak, gas alam, pariwisata bahari, perikanan tangkap dan budidaya kelautan lain. Khususnya di sektor transporta­si, wilayah laut Indonesia tidak saja berfungsi untuk menghubungkan seluruh kepulauannya, namun juga melayani angkutan laut/logistik internasional yang melintasi Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).

Berdasarkan perhitungan pakar maritim Indonesia diperkirakan sekitar 90% perdagangan international diangkut melalui laut, sedangkan 40% dari rute perdagangan internasional tersebut me­lewati Indonesia. Angka yang luar biasa. Hal ini berarti, Indonesia sampai kapan­pun akan menjadi tempat strategis dalam peta dunia. (Bappenas, 2015)

Jangan lupa kawan dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Fokus pada :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1.         Perlindungan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam adalah segala upaya untuk membantu Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dalam menghadapi permasalahan kesulitan melakukan Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman.
2.        Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam untuk melaksanakan Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman secara lebih baik.
3.        Nelayan adalah Setiap Orang yang mata pencahariannya melakukan Penangkapan Ikan.
4.        Nelayan Kecil adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap Ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gros ton (GT).
5.        Nelayan Tradisional adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan di perairan yang merupakan hak Perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal.
6.        Nelayan Buruh adalah Nelayan yang menyediakan tenaganya yang turut serta dalam usaha Penangkapan Ikan.
7.        Nelayan Pemilik adalah Nelayan yang memiliki kapal penangkap Ikan yang digunakan dalam usaha Penangkapan Ikan dan secara aktif melakukan Penangkapan Ikan.
8.        Penangkapan Ikan adalah kegiatan untuk memperoleh Ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat dan cara yang mengedepankan asas keberlanjutan dan kelestarian, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
9.        Pembudi Daya Ikan adalah Setiap Orang yang mata pencahariannya melakukan Pembudidayaan Ikan air tawar, Ikan air payau, dan Ikan air laut.
10.      Pembudi Daya Ikan Kecil adalah Pembudi Daya Ikan yang melakukan Pembudidayaan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
11.       Penggarap Lahan Budi Daya adalah Pembudi Daya Ikan yang menyediakan tenaganya dalam Pembudidayaan Ikan.
12.      Pemilik Lahan Budi Daya adalah Pembudi Daya Ikan yang memiliki hak atau izin atas lahan dan secara aktif melakukan kegiatan Pembudidayaan Ikan.
13.      Pembudidayaan Ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan Ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
14.      Petambak Garam adalah Setiap Orang yang melakukan kegiatan Usaha Pergaraman.
15.      Petambak Garam Kecil adalah Petambak Garam yang melakukan Usaha Pergaraman pada lahannya sendiri dengan luas lahan paling luas 5 (lima) hektare, dan perebus Garam.
16.      Penggarap Tambak Garam adalah Petambak Garam yang menyediakan tenaganya dalam Usaha Pergaraman.
17.      Pemilik Tambak Garam adalah Petambak Garam yang memiliki hak atas lahan yang digunakan untuk produksi Garam dan secara aktif melakukan Usaha Pergaraman.
18.      Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
19.      Garam adalah senyawa kimia yang komponen utamanya berupa natrium klorida dan dapat mengandung unsur lain, seperti magnesium, kalsium, besi, dan kalium dengan bahan tambahan atau tanpa bahan tambahan iodium.
20.     Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya Ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pascaproduksi, dan pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis Perikanan.
21.      Pergaraman adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan praproduksi, produksi, pascaproduksi, pengolahan, dan pemasaran Garam.
22.     Usaha Perikanan adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan sistem bisnis Perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pascaproduksi, pengolahan, dan pemasaran.
23.     Usaha Pergaraman adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan sistem bisnis Pergaraman yang meliputi praproduksi, produksi, pascaproduksi, pengolahan, dan pemasaran.
24.     Komoditas Perikanan adalah hasil dari Usaha Perikanan yang dapat diperdagangkan, disimpan, dan/atau dipertukarkan.
25.     Komoditas Pergaraman adalah hasil dari Usaha Pergaraman yang dapat diperdagangkan, disimpan, dan/atau dipertukarkan.
26.     Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
27.     Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan usaha prasarana dan/atau sarana produksi Perikanan, prasarana dan/atau sarana produksi Garam, pengolahan, dan pemasaran hasil Perikanan, serta produksi Garam yang berkedudukan di wilayah hukum Republik Indonesia.
28.     Kelembagaan adalah lembaga yang ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk Nelayan, Pembudi Daya Ikan, atau Petambak Garam atau berdasarkan budaya dan kearifan lokal.
29.     Asuransi Perikanan adalah perjanjian antara Nelayan atau Pembudi Daya Ikan dan pihak perusahaan asuransi untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko Penangkapan Ikan atau Pembudidayaan Ikan.
30.     Asuransi Pergaraman adalah perjanjian antara Petambak Garam dan pihak perusahaan asuransi untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko Usaha Pergaraman.
31.      Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh perusahaan penjaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam kepada perusahaan pembiayaan dan bank.
32.     Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
33.     Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
34.     Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan Perikanan.


Jadi kalau ada pihak merekayasa agar garam, bahwa garam memerlukan birokrasi dan tata niaga garam, yang panjang, terjal, berliku agar sampai di dapur rakyat, karena ongkos produksi dan biaya perkara, biaya politik malah menggiurkan pihak-pihak tertentu.

Akankah rakyat semakin sulit melek politik karena susah memakan asam garamnya kehidupan nyata. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar