Memaknai Nilai Manfaat Dana Haji
Bahwa misi pembangunan infrastruktur
yang menjadi salah satu fokus presiden Joko Widodo, di tahun pertama 2014-2019,
20 Oktober 2014 s.d 20 Oktober 2015 masih terkendala dari segi biaya,
pembebasan lahan, dan kurangnya partisipasi daerah. Salah satu langkah nyata
adalah dengan menetapkan Peraturan Presiden nomor 35 tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Kita simak Perpres 35/2015 yang
ditetapkan di Jakata pada tanggal 20 Maret 2015, fokus pada Pasal 1 angka 4 dan
5 :
4.
Infrastruktur adalah fasilitas
teknis, fisik, sistem, perangkat keras, dan lunak yang diperlukan untuk melakukan
pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan
ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik.
5.
Penyediaan Infrastruktur adalah
kegiatan yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan
kemampuan infrastruktur dan/atau kegiatan pengelolaan infrastruktur dan/atau pemeliharaan
infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur.
Jika ada niatan maupun rencana penggunaan dana haji untuk
proyek-proyek infrastruktur, harus kita sikapi dengan wajar dan konstitusional.
Karena NKRI memang negara berdasarkan hukum, atau negara hukum.
Terbukti tidak hanya ada instansi penegak hukum, maupun aparat penjinak hukum.
Hukum siaga 24 jam, siap memenuhi panggilan gawat darurat.
Perubahan ketiga
UUD NRI 1945, menetapkan Pasal 1 ayat (3) :
Negara Indonesia adalah negara hukum
Masuknya atau
ditetapkannya Pasal 1 ayat (3) dimaksudkan untuk memperteguh paham bahwa
Indonesia adalah negara hukum, baik dalam penyelenggaraan negara maupun dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia ialah Negara yang berdasar atas
hukum (rechsstaat) tidak berdasarakan atas kekuasaan belaka (machstaat).
Jangan lupa, bahwa UU RI nomor 34
tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, simak pada Pasal 1 ayat 1 dan
ayat 2 :
1.
Dana Haji adalah dana
setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji, dana efisiensi penyelenggaraan haji,
dana abadi umat, serta nilai manfaat yang dikuasai oleh negara dalam rangka
penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan program kegiatan untuk kemaslahatan
umat Islam;
2.
Dana Abadi Umat yang
selanjutnya disingkat DAU adalah sejumlah dana yang sebelum berlakunya
Undang-Undang ini diperoleh dari hasil pengembangan DAU dan/atau sisa biaya
operasional penyelenggaraan ibadah haji serta sumber lain yang halal dan tidak
mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dua faktor pertimbangan UU 34/2014
adalah :
c.
bahwa peningkatan jumlah jemaah haji
tunggu mengakibatkan terjadinya penumpukan akumulasi dana haji;
d.
bahwa akumulasi dana haji berpotensi
ditingkatkan nilai manfaatnya guna mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang
lebih berkualitas melalui pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien,
transparan, akuntabel, dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
Artinya, seberapa sedikit umat Islam
yang masuk daftar tunggu dan sampai tahun kapan.
Mengacu frasa “nilai manfaat yang dikuasai oleh negara” maka otomatis negara
berhak memanfaatkan dana haji tanpa ijin dan dipergunakan untuk pembangunan
infrastruktur. Kalau dana haji sebagai dana pinjaman – bukan APBN – tentu ada
aturan main atau dasar hukumnya.
Yang dimaksud dengan “nilai manfaat” adalah sebagian Dana Haji dapat ditempatkan dan/atau diinvestasikan
dengan prinsip syariah dan mempertimbangkan faktor risiko serta bersifat
likuid.
Sebelum masuk ke bedah kasus, kita
simak apa itu frasa “dikuasai oleh negara” dengan membuka UUD NRI
tahun 1945, pada pasal 33 ayat (2) dan (3) yang tidak mengalami perubahan :
(2)
Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3)
Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuksebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Jadi, langkah berikutnya kita
menelaah apa itu “nilai manfaat”. Tak perlu dengan
membadingkan antar produk hukum. Cukup simak UU 34/2014 dengan membaca
penjelasan pasal demi pasal. Yaitu :
Pasal 2
Pengelolaan Keuangan
Haji berasaskan:
a.
prinsip syariah (yang dimaksud
dengan asas “prinsip syariah” adalah semua dan setiap pengelolaan Keuangan Haji
berdasarkan prinsip Islam yang kafah atau menyeluruh);
b.
prinsip kehati-hatian (yang dimaksud
dengan asas “prinsip kehati-hatian” adalah pengelolaan Keuangan Haji dilakukan
dengan cermat, teliti, aman, dan tertib serta dengan mempertimbangkan aspek
risiko keuangan);
c.
manfaat (yang dimaksud dengan asas “manfaat” adalah
pengelolaan Keuangan Haji harus dapat memberikan manfaat atau maslahat bagi
Jemaah Haji dan umat Islam);
d.
nirlaba (yang dimaksud dengan asas “nirlaba” adalah
pengelolaan Keuangan Haji dilakukan melalui pengelolaan usaha yang mengutamakan
penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi Jemaah Haji dan kemaslahatan umat Islam, namun dengan tidak ada pembagian
deviden bagi pengelolanya);
e.
transparan (yang dimaksud dengan
asas “transparan” adalah pengelolaan Keuangan Haji harus dilakukan secara
terbuka dan jujur melalui pemberian informasi kepada masyarakat, khususnya
kepada Jemaah Haji tentang pelaksanaan dan hasil pengelolaan Keuangan Haji);
dan
f.
akuntabel (yang dimaksud dengan asas
“akuntabel” adalah pengelolaan Keuangan Haji harus dilakukan secara akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, khususnya kepada Jemaah Haji) .
Jadi, bagaimana sikap kita secara wajar
dan konstitusional, minimal setelah kita menyimak bahasannya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar