Halaman

Sabtu, 05 Agustus 2017

Memaknai Nilai Manfaat Dana Haji



Memaknai Nilai Manfaat Dana Haji

Bahwa misi pembangunan infrastruktur yang menjadi salah satu fokus presiden Joko Widodo, di tahun pertama 2014-2019, 20 Oktober 2014 s.d 20 Oktober 2015 masih terkendala dari segi biaya, pembebasan lahan, dan kurangnya partisipasi daerah. Salah satu langkah nyata adalah dengan menetapkan Peraturan Presiden nomor 35 tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

Kita simak Perpres 35/2015 yang ditetapkan di Jakata pada tanggal 20 Maret 2015, fokus pada Pasal 1 angka 4 dan 5 :
4.    Infrastruktur adalah fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras, dan lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik.
5.    Penyediaan Infrastruktur adalah kegiatan yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur dan/atau kegiatan pengelolaan infrastruktur dan/atau pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur.

Jika ada niatan  maupun rencana penggunaan dana haji untuk proyek-proyek infrastruktur, harus kita sikapi dengan wajar dan konstitusional. Karena NKRI memang negara berdasarkan hukum, atau negara hukum. Terbukti tidak hanya ada instansi penegak hukum, maupun aparat penjinak hukum. Hukum siaga 24 jam, siap memenuhi panggilan gawat darurat.

Perubahan ketiga UUD NRI 1945, menetapkan Pasal 1 ayat (3) :
Negara Indonesia adalah negara hukum

Masuknya atau ditetapkannya Pasal 1 ayat (3) dimaksudkan untuk memperteguh paham bahwa Indonesia adalah negara hukum, baik dalam penyelenggaraan negara maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat) tidak berdasarakan atas kekuasaan belaka (machstaat).

Jangan lupa, bahwa UU RI nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, simak pada Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 :
1.       Dana Haji adalah dana setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji, dana efisiensi penyelenggaraan haji, dana abadi umat, serta nilai manfaat yang dikuasai oleh negara dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan program kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam;
2.      Dana Abadi Umat yang selanjutnya disingkat DAU adalah sejumlah dana yang sebelum berlakunya Undang-Undang ini diperoleh dari hasil pengembangan DAU dan/atau sisa biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji serta sumber lain yang halal dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dua faktor pertimbangan UU 34/2014 adalah :
c.    bahwa peningkatan jumlah jemaah haji tunggu mengakibatkan terjadinya penumpukan akumulasi dana haji;
d.    bahwa akumulasi dana haji berpotensi ditingkatkan nilai manfaatnya guna mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas melalui pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

Artinya, seberapa sedikit umat Islam yang masuk daftar tunggu dan sampai tahun kapan.

Mengacu frasa “nilai manfaat yang dikuasai oleh negara” maka otomatis negara berhak memanfaatkan dana haji tanpa ijin dan dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur. Kalau dana haji sebagai dana pinjaman – bukan APBN – tentu ada aturan main atau dasar hukumnya.

Yang dimaksud dengan “nilai manfaat” adalah sebagian Dana Haji dapat ditempatkan dan/atau diinvestasikan dengan prinsip syariah dan mempertimbangkan faktor risiko serta bersifat likuid.

Sebelum masuk ke bedah kasus, kita simak apa itu frasa “dikuasai oleh negara” dengan membuka UUD NRI tahun 1945, pada pasal 33 ayat (2) dan (3) yang tidak mengalami perubahan :
(2)   Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3)   Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuksebesar-besar kemakmuran rakyat.

Jadi, langkah berikutnya kita menelaah apa itu “nilai manfaat”. Tak perlu dengan membadingkan antar produk hukum. Cukup simak UU 34/2014 dengan membaca penjelasan pasal demi pasal. Yaitu :

Pasal 2
Pengelolaan Keuangan Haji berasaskan:
a.      prinsip syariah (yang dimaksud dengan asas “prinsip syariah” adalah semua dan setiap pengelolaan Keuangan Haji berdasarkan prinsip Islam yang kafah atau menyeluruh);
b.      prinsip kehati-hatian (yang dimaksud dengan asas “prinsip kehati-hatian” adalah pengelolaan Keuangan Haji dilakukan dengan cermat, teliti, aman, dan tertib serta dengan mempertimbangkan aspek risiko keuangan);
c.      manfaat  (yang dimaksud dengan asas “manfaat” adalah pengelolaan Keuangan Haji harus dapat memberikan manfaat atau maslahat bagi Jemaah Haji dan umat Islam);
d.      nirlaba  (yang dimaksud dengan asas “nirlaba” adalah pengelolaan Keuangan Haji dilakukan melalui pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi Jemaah Haji dan kemaslahatan umat Islam, namun dengan tidak ada pembagian deviden bagi pengelolanya);
e.      transparan (yang dimaksud dengan asas “transparan” adalah pengelolaan Keuangan Haji harus dilakukan secara terbuka dan jujur melalui pemberian informasi kepada masyarakat, khususnya kepada Jemaah Haji tentang pelaksanaan dan hasil pengelolaan Keuangan Haji); dan
f.      akuntabel (yang dimaksud dengan asas “akuntabel” adalah pengelolaan Keuangan Haji harus dilakukan secara akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, khususnya kepada Jemaah Haji)   .

Jadi, bagaimana sikap kita secara wajar dan konstitusional, minimal setelah kita menyimak bahasannya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar