Halaman

Selasa, 29 Agustus 2017

Teror Kata dan Modus Cuci Otak



Teror Kata dan Modus Cuci Otak

Indonesia dalam situasi dan kondisi aman, nyaman, tenteram. Jauh dari perang. Perubahan Keempat UUD RI 1945 menghaslkan :
Pasal 11
(1)      Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

Dalam keadaan tidak perang, maka hukum perang apa yang tetap berlaku. Jika keamanan dalam negeri stabil, terkendali, pasal apa yang tetap diberlakukan agar eksistensi, harga diri, citra diri, wibawa tetap terjaga.

Bagaimana pemerintah menjaga pihak yang sudah “gatal tangan”. Karena mereka dibentuk untuk menjadi tukang perang, mesin tempur.

Bagaimana jika Indonesia terjebak perang non-konvensional. Perang dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Sasarannya utama sudah bukan pada “penghilangan nyawa seseorang, orang lain dengan sengaja”, tetapi lebih dari itu.

Kita masih ingat adanya upaya pembunuhan karakter. Semua pihak dengan fasih, latah menggunakannya. Dua kutub yang berseberangan dengan gagah memggunakan kata yang sama.

Rakyat sebagai permirsa, penonoton semakin bingung bin linglung. Emosi dan enerji rakyat terserap untuk menikmati adegan, atraksi, acara di panggung politik Nusantara. Bukan sekedar terjadi transaksi pembodohan tetapi praktik adu pintar, adu lihai antar penyeleggara negara.

Lazim, pada saat NKRI tenang tentu akan muncul watak yang tidak sekedar “menjaring ikan di air keruh”, kalau perlu dengan berbagai modus malah memperkeruh suasana. Mereka mengambil berbagai keuntungan dari dua kutub, dua kubu, dua pihak, dua koalisi yang sedang “perang dingin”.

Keberadaan media massa bisa menghakimi, mengadili bahkan memberi vonis – minimal memberi stigma – pada kejadian perkara.

Opini rakyat mudah dibentuk dengan dari apa yang dilihat,  didengar dan/atau dibaca. Kondisi ini sebagai lahan basah, lahan menggiurkan bagi penyedia jasa pembuatan konten bermuatan kebencian dan hoaks. Tak mau tahu siapa yang jadi korban. Seperti biasanya, kemungkinan kebijakan pemerintah bukan menguak, menyibak, membongkar akar permasalahan, tetapi malah diduga akan mennggunakan jurus perpu. Atau kasus diambangkan, karena berhasil mengalihkan perhatian masyarakat atas kasus yang lebih besar, pada saat yang sama. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar