Halaman

Senin, 14 Agustus 2017

turun gunung vs naik kursi



turun gunung vs naik kursi

Memori anak bangsa, putera asli daerah, orang dan/atau manusia Nusantara sampai mereka yang buta politik, hanya bisa diam seribu bahasa. Hanya menjadi pemirsa pasif atas tindak ulah, tingkah laku, modus politik para kawanan partai.

Turun gunung tak ada kaitan acara kenegaraan dengan kunjungan kerja, blusukan sampai keblusuk kemana-mana, turba (turun ke bawah), turné (turu kono turu kéné), anjangsana / anjangsini, atau sidak.

Terang-benderangnya, anak cucu ideologis kawanan Partai Komunis Indonesia (PKI) masih melenggang bebas di bumi Nusantara. Karena ideologi tidak ada matinya, tidak ada kapoknya. Angin segar penyederhanaan jumlah partai politik dan golongan karya, di zaman Orde Baru, menjadikan anak cindil PKI mendapat markas sebagai tempat pelarian, tempat penampungan sementara. Secara konstitusional mendapat tempat transit ke alam bebas, wadah formal sebagai batu loncatan.

Masuk ke era reformasi yang bergulir dari puncaknya, 21 Mei 1998. Kemajemukan menjadikan Nusantara dengan menu kehidupan berbangsa, bernegara serba multi, aneka méga.

Aksi rekonsiliasi nasional dimaksudkan agar NKRI tidak menjadi bulan-bulanan politik oleh negara adipopulasi. Faktor historis, kendati sudah menjadi sponsor kudeta, makar, pemberontakan bersenjata sampai 2x oleh PKI di tahun 1948 dan tahun 1965, NKRI seolah malah mendadak lupa sejarah.

Jangan putus asa. Kita lacak Perpu 2/2017  tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Fokus pada penjelasan Pasal 59 Ayat (3) Huruf d, yang berbunyi :

Yang dimaksud dengan "kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum" adalah tindakan penangkapan, penahanan dan membatasi kebebasan
bergerak seseorang karena latar belakang etnis, agama dan kebangsaan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Jadi, yang namanya pergerakkan politik dengan segala kesibukkannya, akan bebas hukum. [

Tidak ada jeleknya kalau kita simak UU 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Fokus pada :

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.     Konflik Sosial, yang selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.

Bersyukur, tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan “stabilitas nasional”. Terjemahan bebasnya sesuai kepercayaan masing-masing, cukup dalam hati. Jadi kita bisa lanjut simak :

Pasal 5
Konflik dapat bersumber dari:
a.    permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya;
b.    perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis;
c.    sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi;
d.    sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau
e.    distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.

Jangan diartikan bahwa permasalahan yang berkaitan dengan politik sebagai sumber konflik pertama dan utama. Jokowi saja selaku presiden mendapat stigma sebagai petugas partai oleh pdip. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar