turun gunung vs naik kursi
Memori anak bangsa,
putera asli daerah, orang dan/atau manusia Nusantara sampai mereka yang buta
politik, hanya bisa diam seribu bahasa. Hanya menjadi pemirsa pasif atas tindak
ulah, tingkah laku, modus politik para kawanan partai.
Turun gunung tak ada kaitan
acara kenegaraan dengan kunjungan kerja, blusukan sampai keblusuk kemana-mana,
turba (turun ke bawah), turné (turu kono turu kéné), anjangsana / anjangsini,
atau sidak.
Terang-benderangnya, anak
cucu ideologis kawanan Partai Komunis Indonesia (PKI) masih melenggang bebas di
bumi Nusantara. Karena ideologi tidak ada matinya, tidak ada kapoknya. Angin
segar penyederhanaan jumlah partai politik dan golongan karya, di zaman Orde
Baru, menjadikan anak cindil PKI mendapat markas sebagai tempat pelarian, tempat
penampungan sementara. Secara konstitusional mendapat tempat transit ke alam
bebas, wadah formal sebagai batu loncatan.
Masuk ke era reformasi
yang bergulir dari puncaknya, 21 Mei 1998. Kemajemukan menjadikan Nusantara
dengan menu kehidupan berbangsa, bernegara serba multi, aneka méga.
Aksi rekonsiliasi
nasional dimaksudkan agar NKRI tidak menjadi bulan-bulanan politik oleh negara
adipopulasi. Faktor historis, kendati sudah menjadi sponsor kudeta, makar,
pemberontakan bersenjata sampai 2x oleh PKI di tahun 1948 dan tahun 1965, NKRI
seolah malah mendadak lupa sejarah.
Jangan putus asa. Kita
lacak Perpu 2/2017 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Fokus
pada penjelasan Pasal 59 Ayat (3) Huruf d, yang berbunyi :
Yang
dimaksud dengan "kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum" adalah tindakan penangkapan, penahanan
dan membatasi kebebasan
bergerak seseorang karena latar
belakang etnis, agama dan kebangsaan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Jadi, yang namanya
pergerakkan politik dengan segala kesibukkannya, akan bebas hukum. [
Tidak ada jeleknya kalau kita simak UU 7/2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial. Fokus pada :
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Konflik Sosial, yang selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan
dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau
lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang
mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu
stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.
Bersyukur, tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan “stabilitas nasional”. Terjemahan bebasnya sesuai kepercayaan masing-masing, cukup dalam hati. Jadi
kita bisa lanjut simak :
Pasal 5
Konflik dapat bersumber dari:
a.
permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya;
b.
perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan
antaretnis;
c.
sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi;
d.
sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan
pelaku usaha; atau
e.
distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.
Jangan diartikan bahwa permasalahan yang berkaitan dengan politik sebagai
sumber konflik pertama dan utama. Jokowi saja selaku presiden mendapat stigma
sebagai petugas partai oleh pdip. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar