menjadi penguasa, memberatkan vs meringankan
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, sedemikan pesat melaju, bahkan mampu melampaui
kapasitas logika, nalar, akal manusia. Terlebih jika manusia mendewakan
otaknya, membanggakan kinerja benaknya.
Dukungan
alam yang memanjakan mata. Biji buah, asal dilempar ke tanah, akan menjadi
tunas. Tantangan alam menjadikan anak manusia Indonesia harus berfikir lipat. Menghadapi
kenyataan, jika petani tanam padi, rumput ikut tumbuh. Bahkan lebih lebat dan
subur.
Daya
tembus rumput, entah jenis apa, mampu menembus lapisan aspal jalan. Mampu muncul
dari balik perkerasan conblock dim jalan lingkungan maupun halaman rumah,
pekarangan. Tanaman hias di pot, yang notabene ditangani oleh si tangan dingin,
tak bisa menghindari tumbuhnya rumput atau tanaman liar.
Makanya,
Nusantara sebagai negeri multipartai, malah memunculkan benalu politik, parasite
politik. Ribuan organisasi kemasyarakatan semakin menjadi beban pemerintah. Kendati
tak ada dana politik. Ironis buntu miris, satu ormas macam HTI, sudah membuat
penguasa kebakaran jenggot.
Rekayasa
genetika politik di éra mégatéga ini malah membuktikan “daun lupa akar”. KIH maupun KMP, ditambah koalisi pro-pemerintah, sewajarnya menghasilkan
buah. Jangan was-was, rakyat tetap berfungsi sebagai akar bagi pohonnya. Petani
tak akan alih fungsi jadi wakil rakyat. Angkutan manusia dengan aplukasi tidak
akan menyaingi taksi, bis umum, angkot, dan sejenisnya. Rezeki sudah diatur dan
ditetapkan oleh Allah swt.
Indikasi sebagai negara multipartai tidak sekedar beredar resminya
multikrisis, multibencana. Menjadikan NKRI sebagai negara multipilot. Khusus periode
2014-2019, negara hadir sebagai provokator, ujaran kebencian dan penistaan
agama, fitnah penguasa, fitnah alternatif serta berbagai bentuk anarkis dan
daun ulang makar versi legal. Negara menjadi negara multipartai, multipilot.
Pengorbanan rakyat atau rakyat jadi korban sistem, perwujudan ‘ampera’ tak
berpengaruh pada hati nurani penguasa.
Kalau negara ini adem ayem kerto raharjo, tata
tentrem, gemah ripah loh jinawi menjadikan pihak tertentu menganggur. Tidak
ada pasal “gebug duluan, rembug belakangan”. Tidak mempunyai peran, hanya duduk
manis di kantor. Makan gaji buta, tidak ada proyek perang.
Revolusi mental yang sebagai gerakan sosial, aksi
nasional, seolah hanya mengulur waktu, memanfaatkan waktu luang, agar sampai
akhir periode. Angan-angan, imajinasi, ambisi pe-revolusi mental adalah bisa
ikut di pilpres 2019. Mulai dari bawah, sebagai ‘ban serep’. Perilaku inkonstutusional, karena
pelakunya adalah pemerintah atau penguasa, secara yuridis formal menjadi konstitusional.
[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar