Halaman

Jumat, 04 Agustus 2017

menjadi penguasa, memberatkan vs meringankan



menjadi penguasa, memberatkan vs meringankan

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedemikan pesat melaju, bahkan mampu melampaui kapasitas logika, nalar, akal manusia. Terlebih jika manusia mendewakan otaknya, membanggakan kinerja benaknya.

Dukungan alam yang memanjakan mata. Biji buah, asal dilempar ke tanah, akan menjadi tunas. Tantangan alam menjadikan anak manusia Indonesia harus berfikir lipat. Menghadapi kenyataan, jika petani tanam padi, rumput ikut tumbuh. Bahkan lebih lebat dan subur.

Daya tembus rumput, entah jenis apa, mampu menembus lapisan aspal jalan. Mampu muncul dari balik perkerasan conblock dim jalan lingkungan maupun halaman rumah, pekarangan. Tanaman hias di pot, yang notabene ditangani oleh si tangan dingin, tak bisa menghindari tumbuhnya rumput atau tanaman liar.

Makanya, Nusantara sebagai negeri multipartai, malah memunculkan benalu politik, parasite politik. Ribuan organisasi kemasyarakatan semakin menjadi beban pemerintah. Kendati tak ada dana politik. Ironis buntu miris, satu ormas macam HTI, sudah membuat penguasa kebakaran jenggot.

Rekayasa genetika politik di éra mégatéga ini malah membuktikan “daun lupa akar”. KIH maupun KMP, ditambah koalisi pro-pemerintah, sewajarnya menghasilkan buah. Jangan was-was, rakyat tetap berfungsi sebagai akar bagi pohonnya. Petani tak akan alih fungsi jadi wakil rakyat. Angkutan manusia dengan aplukasi tidak akan menyaingi taksi, bis umum, angkot, dan sejenisnya. Rezeki sudah diatur dan ditetapkan oleh Allah swt.

Indikasi sebagai negara multipartai tidak sekedar beredar resminya multikrisis, multibencana. Menjadikan NKRI sebagai negara multipilot. Khusus periode 2014-2019, negara hadir sebagai provokator, ujaran kebencian dan penistaan agama, fitnah penguasa, fitnah alternatif serta berbagai bentuk anarkis dan daun ulang makar versi legal. Negara menjadi negara multipartai, multipilot. Pengorbanan rakyat atau rakyat jadi korban sistem, perwujudan ‘ampera’ tak berpengaruh pada hati nurani penguasa.

Kalau negara ini adem ayem kerto raharjo, tata tentrem, gemah ripah loh jinawi menjadikan pihak tertentu menganggur. Tidak ada pasal “gebug duluan, rembug belakangan”. Tidak mempunyai peran, hanya duduk manis di kantor. Makan gaji buta, tidak ada proyek perang.

Revolusi mental yang sebagai gerakan sosial, aksi nasional, seolah hanya mengulur waktu, memanfaatkan waktu luang, agar sampai akhir periode. Angan-angan, imajinasi, ambisi pe-revolusi mental adalah bisa ikut di pilpres 2019. Mulai dari bawah, sebagai ‘ban serep’. Perilaku inkonstutusional, karena pelakunya adalah pemerintah atau penguasa, secara yuridis formal menjadi konstitusional. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar