Wajib Belajar vs Wajib Pintar
Angin surga berhembus menerpa wajah
pendidikan nasional berkat Perubahan Kedua, Ketiga dan Keempat UUD NRI 1945. Mendasari
hajat olahkata ini, fokus pada pasal 31 ayat (4) sebagai produk Perubahan
Keempat, tersurat :
Pasal 31
(4)
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Artinya UUD NRI 1945 sudah
mengamanaka agar sekurang-kurangnya 20% APBN, 20% APBD provinsi maupun 20% APBD
kabupaten/kota untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Bagiamana pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten/kota menterjemahkan
hakikat kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional sangat dinamis. Dampak
pilkada menjadikan sistem pendidikan nasionalk menjadi komoditas politik. Menjadi
bahan kampanye yang kita kebal dengan jargon “sekolah gratis”.
Di pihak lain, pemerintah
mencanangkan Wajib Belajar 12 Tahun (wajar 12 tahun). Anak Indonesia “diwajibkan”
bersekolah SD, SMP, dan SMA. Kita ketahui bahwa Indeks Pendidikan yang didasarkan
pada kombinasi antara angka melek huruf penduduk dewasa dan rata-rata lama
sekolah, sebagai salah satu indikator IPM (Indeks Pembangunan Manusia).
Adanya pihak yang menyoal siapa yang mewajibkan belajar yang dikaitkan dengan
setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan [pasal 31 ayat (1) UUD NRI
1945]. Memang tidak salah. Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa keberhasilan
pendidikan dasar dan pendidikan menengah diukur dari angka kelulusan.
Seolah bangsa ini bukannya tidak mengharapkan
agar anak bangsa, putera asli daerah wajib pintar. Saat masuk perguruan tinggi yang alumnusnya digadang
menjadi siap kerja. Bukannya siap dan layak tanding, siap laga tandang ke
kandang lawan. Tidak sekedar jadi jago kandang. Tidak salah jika pemerintah
menggemakan wajib pintar 12 tahun. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar