rakyat diberi hati merogoh kursi
Apapun alasannya, yang
namanya rakyat tetap rakyat. Diberi busana kebesaran partai politik, tetap tak
tampak “besar”. Keluguannya tetap menonjol.
Diberi gincu untuk
berlenggak-lenggok di panggung politik, malah mengundang iba hati. Atau
membangkitkan dendam politik berbasis diskriminasi jender. Atau mengobarkan
semangat emansipasi bahwa perempuan layak tanding, pantas jadi imam. Seolah
seperti tak ada yang lebih jelek untuk ditampilkan. Karena darah ideologis akan
menurun sampai anak cucu.
Betapa bangganya rakyat
ketika pemerintah begitu peduli dengan nasib dapurnya. Bumbu dapur yang bernama
garam, agar kasta rakyat naik maka pemerintah mendatangkan garam buatan negara
lain. Mungkin laut atau wilayah perairan tanah-air Nusantara
sudah tidak asin.
Kandungan, kadar,
komposisi garam terkontaminasi pahitnya kehidupan rakyat di darat. Kendati seorang
menteri berujar kalau garam impor merugikan petani, kafilah tetap melaju.
Kebijakan tol laut
Jokowi plus minus JK tak berpengaruh pada tata niaga garam.
Konsumsi garam berapa kg
per orang/tahun yang menunjukkan bahwa manusia Indonesia sehat dan cerdas ideologi.
Karena sifat garam Nusantara tidak menjadikan penggunanya mampu bersaing di
tingkat ASEAN, maka pakai garam asing yang lebih mujarab, ampuh, mustajab, berkhasiat
dan cespleng.
Rakyat tidak mau ambil
pusing bagaimana modus operandi, rekayasa pemilu serentak 2019. Penyakit pesta
demokrasi, jika rakyat meilih wakil rakyat dengan mencoblos gambar/foto. Ternyata,
akhirnya karena aturan main, bakal calon yang dicoblos tidak memperoleh kursi.
Maraknya aksi unjuk
rasa, unjuk raga bahkan sampai tingkat aksi damai nasional, menunjukkan adanya
kondisi yang kontradiktif, yaitu :
Pertama, mandul, tumpulnya nya sistem perwakilan rakyat,
sehingga rakyat harus turun tangan sendiri. Wakil rakyat waktunya tersita habis
untuk melaksanakan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Rakyat
memperjuangkan nasibnya secara mandiri. Rakyat pemilik lahan jadi umpan peluru
aparat keamanan atau jadi karung tinju hidup, ketika mempertahankan hak atas
tanahnya. Pengusaha, penguasa (pemerintah kabupaten/ kota), aparat keamanan
menjadi satu kubu menghadapi rakyat. Dampak kebijakan yang tidak pro-rakyat, rawan
konflik, bak bom waktu atau senjata makan tuan.
Kedua, sebagai negara demokratis dengan sistem
perwakakilan atau perantara, maka dasar kebebasan menyatakan pendapat,
aspirasi, opini atau bentuk perlawanan yang terorganisir. UU 39/1999 tentang
“HAK ASASI MANUSIA” telah menyuratkannya dalam :
Pasal 23
2.
Setiap orang bebas
untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati
nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik
dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum,
dan keutuhan bangsa.
Pasal 25
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka
umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Aksi
turun gunung sampai ke jalan, mengatasnamakan rakyat, misal anti kenaikkan
harga BBM, belum tentu dapat simpati dan dukungan rakyat. Terlebih jika kawanan
demonstran berubah menjadi raja jalanan. Pergerakan massa akan berakhir anarkis
karena selain dibingkai dalam kepentingan politik sesaat dan sesat, juga tidak
jelasnya sasaran dan tujuan demonstrasi. Pihak yang tidak berkepentingan malah
menjadi korban.
Demonstrasi bisa sebagai
langkah awal, dapat sebagai terapi kejutan, boleh sebagai alternatif terakhir
untuk berjuang, serta dilaksanakan secara bermarbat, bukan sebagai sarana
pemaksaan kehendak.
Nyaris lupa, betapa
relawan, barisan berani hidup, pagar hidup, tukang alok lan mbengok, atau
bolo dupak, barisan jurkam Jokowi-JK,
sudah mengenal kalkulasi politik.
Hebatnya lagi,
dari dua kubu, dua kutub yang berseteru mereka bisa mendapat keuntungan dari
kedua belah pihak.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar