Halaman

Minggu, 13 Agustus 2017

rakyat diberi hati merogoh kursi



rakyat diberi hati merogoh kursi

Apapun alasannya, yang namanya rakyat tetap rakyat. Diberi busana kebesaran partai politik, tetap tak tampak “besar”. Keluguannya tetap menonjol.

Diberi gincu untuk berlenggak-lenggok di panggung politik, malah mengundang iba hati. Atau membangkitkan dendam politik berbasis diskriminasi jender. Atau mengobarkan semangat emansipasi bahwa perempuan layak tanding, pantas jadi imam. Seolah seperti tak ada yang lebih jelek untuk ditampilkan. Karena darah ideologis akan menurun sampai anak cucu.

Betapa bangganya rakyat ketika pemerintah begitu peduli dengan nasib dapurnya. Bumbu dapur yang bernama garam, agar kasta rakyat naik maka pemerintah mendatangkan garam buatan negara lain. Mungkin  laut  atau wilayah perairan tanah-air Nusantara sudah tidak asin.

Kandungan, kadar, komposisi garam terkontaminasi pahitnya kehidupan rakyat di darat. Kendati seorang menteri berujar kalau garam impor merugikan petani, kafilah tetap melaju.

Kebijakan tol laut Jokowi plus minus JK tak berpengaruh pada tata niaga garam.

Konsumsi garam berapa kg per orang/tahun yang menunjukkan bahwa manusia Indonesia sehat dan cerdas ideologi. Karena sifat garam Nusantara tidak menjadikan penggunanya mampu bersaing di tingkat ASEAN, maka pakai garam asing yang lebih mujarab, ampuh, mustajab, berkhasiat dan cespleng.

Rakyat tidak mau ambil pusing bagaimana modus operandi, rekayasa pemilu serentak 2019. Penyakit pesta demokrasi, jika rakyat meilih wakil rakyat dengan mencoblos gambar/foto. Ternyata, akhirnya karena aturan main, bakal calon yang dicoblos tidak memperoleh kursi.

Maraknya aksi unjuk rasa, unjuk raga bahkan sampai tingkat aksi damai nasional, menunjukkan adanya kondisi yang kontradiktif, yaitu :

Pertama, mandul, tumpulnya nya sistem perwakilan rakyat, sehingga rakyat harus turun tangan sendiri. Wakil rakyat waktunya tersita habis untuk melaksanakan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Rakyat memperjuangkan nasibnya secara mandiri. Rakyat pemilik lahan jadi umpan peluru aparat keamanan atau jadi karung tinju hidup, ketika mempertahankan hak atas tanahnya. Pengusaha, penguasa (pemerintah kabupaten/ kota), aparat keamanan menjadi satu kubu menghadapi rakyat. Dampak kebijakan yang tidak pro-rakyat, rawan konflik, bak bom waktu atau senjata makan tuan.

Kedua, sebagai negara demokratis dengan sistem perwakakilan atau perantara, maka dasar kebebasan menyatakan pendapat, aspirasi, opini atau bentuk perlawanan yang terorganisir. UU 39/1999 tentang “HAK ASASI MANUSIA” telah menyuratkannya dalam :
Pasal 23
2.    Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

Pasal 25
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Aksi turun gunung sampai ke jalan, mengatasnamakan rakyat, misal anti kenaikkan harga BBM, belum tentu dapat simpati dan dukungan rakyat. Terlebih jika kawanan demonstran berubah menjadi raja jalanan. Pergerakan massa akan berakhir anarkis karena selain dibingkai dalam kepentingan politik sesaat dan sesat, juga tidak jelasnya sasaran dan tujuan demonstrasi. Pihak yang tidak berkepentingan malah menjadi korban.

Demonstrasi bisa sebagai langkah awal, dapat sebagai terapi kejutan, boleh sebagai alternatif terakhir untuk berjuang, serta dilaksanakan secara bermarbat, bukan sebagai sarana pemaksaan kehendak.

Nyaris lupa, betapa relawan, barisan berani hidup, pagar hidup, tukang alok lan mbengok, atau bolo dupak, barisan jurkam Jokowi-JK, sudah mengenal kalkulasi politik.

Hebatnya lagi, dari dua kubu, dua kutub yang berseteru mereka bisa mendapat keuntungan dari kedua belah pihak.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar