Halaman

Selasa, 15 Agustus 2017

Indonesia Menggugat Indonesia



Indonesia Menggugat Indonesia

Akhir sore jelang maghrib, harus senin, sepuluh hari sebelum 17 Agustus 2017. Niat mengobati kaki penat duduk dengan jalan kali, ke barat rumah. Barat blok rumah ada lapangan serba guna, dikelola 3 RT. Penggunanya bisa pihak luar. Malam pun bisa ramai acara. Berpapasan dengan pak Min yang duapuluh tahun lebih tua.

Pak Min dengan busana batik, berkopiah haji, siap ke masjid terdekat. Waktu azan masih longgar, beliau inspeksi pohon ketela karet yang lebih dari 2 meter menjulang, bercabang dua.

“Saya dulu beli bibitnya, 3 potong 20 ribu Rp. Belinya jauh dekat kuburan Bantenan”.  Nerocosnya pakai bahasa Jawa ngoko, maklum wong asli Solo.

Waktu Proklamasi Kemerdekaan NKRI, 17 Agustus 1945, usia pak Min sudah masuk batas 13 tahun. Entah disebut apa, sesuai dengan zamannya.

“Dari 3 batang, yang saya tanam dekat lapangan  – tepatnya utara lapangan – yang bisa tumbuh”. Daunnya memang ketela, tetapi lebih luas dan mendekati bulat.

Saran dia tanah antara jalan dengan lapangan, sebaiknya dibersihkan dan ditanami. Bukan diplester. Konon anak muda penguasa lapangan, yang rumahnya sebelah utara lapangan, merasa terganggu dengan keberadaan pohon.

Si anak muda memang mengelola air bersih dengan menara, sistem pompa bantuan pemkot Tangsel, di pojok timur-utara (apa nama mata anginnya, lupa). Pekerjaan “basah” ini memang menggiurkan bagi si pemuda yang memang belum kerja sekian waktu. Tidak mewarisi darah militer ayahnya yang purna angkatan udara. Cuma mewarisi postur tinggi. Usia ayahnya sepuluh tahun di atas saya dan masih sigap.

Pak Min dengan sigap berujar atau juga sebagai peringatan jangan sampai ponon ketela karet di tebang ujungnya. Karena batangnya masjih hijau, belum punya pengalaman. Kalau sudah mengayu, berwarna coklat, bisa ditebang. Jangan dipatahkan. Tebang dengan parang tajam, sekali tebas. Biar tumbuh bercabang. Demikian resep sederhana pak Min.

Sebagai pendengar yang cerdas dan bijak, sesekali saya ajukan pertanyaan sederhana. Pak Min semakin semangat bertindak tutur.

Hanya karena ada tanda-tanda masuk azan maghrib, pak Min langsung putus kata. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar