Indonesia Menggugat Indonesia
Akhir sore jelang
maghrib, harus senin, sepuluh hari sebelum 17 Agustus 2017. Niat mengobati kaki
penat duduk dengan jalan kali, ke barat rumah. Barat blok rumah ada lapangan
serba guna, dikelola 3 RT. Penggunanya bisa pihak luar. Malam pun bisa ramai
acara. Berpapasan dengan pak Min yang duapuluh tahun lebih tua.
Pak Min dengan busana
batik, berkopiah haji, siap ke masjid terdekat. Waktu azan masih longgar,
beliau inspeksi pohon ketela karet yang lebih dari 2 meter menjulang, bercabang
dua.
“Saya dulu beli
bibitnya, 3 potong 20 ribu Rp. Belinya jauh dekat kuburan Bantenan”. Nerocosnya pakai bahasa Jawa ngoko, maklum
wong asli Solo.
Waktu Proklamasi
Kemerdekaan NKRI, 17 Agustus 1945, usia pak Min sudah masuk batas 13 tahun. Entah
disebut apa, sesuai dengan zamannya.
“Dari 3 batang, yang
saya tanam dekat lapangan – tepatnya
utara lapangan – yang bisa tumbuh”. Daunnya memang ketela, tetapi lebih luas
dan mendekati bulat.
Saran dia tanah antara
jalan dengan lapangan, sebaiknya dibersihkan dan ditanami. Bukan diplester. Konon
anak muda penguasa lapangan, yang rumahnya sebelah utara lapangan, merasa
terganggu dengan keberadaan pohon.
Si anak muda memang
mengelola air bersih dengan menara, sistem pompa bantuan pemkot Tangsel, di
pojok timur-utara (apa nama mata anginnya, lupa). Pekerjaan “basah” ini memang
menggiurkan bagi si pemuda yang memang belum kerja sekian waktu. Tidak mewarisi
darah militer ayahnya yang purna angkatan udara. Cuma mewarisi postur tinggi. Usia
ayahnya sepuluh tahun di atas saya dan masih sigap.
Pak Min dengan sigap
berujar atau juga sebagai peringatan jangan sampai ponon ketela karet di tebang
ujungnya. Karena batangnya masjih hijau, belum punya pengalaman. Kalau sudah
mengayu, berwarna coklat, bisa ditebang. Jangan dipatahkan. Tebang dengan
parang tajam, sekali tebas. Biar tumbuh bercabang. Demikian resep sederhana pak
Min.
Sebagai pendengar yang
cerdas dan bijak, sesekali saya ajukan pertanyaan sederhana. Pak Min semakin
semangat bertindak tutur.
Hanya karena ada
tanda-tanda masuk azan maghrib, pak Min langsung putus kata. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar