Halaman

Kamis, 10 Agustus 2017

penguasa klas oplosan vs rakyat permanent underclass




penguasa klas oplosan vs rakyat permanent underclass

Berkesimpulan bahwa jangan-jangan pada pesta demokrasi lima tahunan (pilkada maupun pemilu legsilatif) akan terjadi pemilih klas II. Betapa tidak, menilik dari DCT, ada 3 kategori asas kenal dan/atau tahu  atas nominator :

Pertama, saya kenal dan/atau tahu bahwa kandidat tsb karena yang saya kenal, minimal hanya sebatas kenal nama – ooo, ini si A, itu si B - bukan kenal orang. Apalagi kenal secara pribadi. Mata rantai, dia temannya dari teman kita yang sudah lama tidak jumpa.

Kedua, saya kenal dan/atau tahu bahwa nominator tsb memang betul-betul tidak saya kenal, tidak terkenal dan tidak punya nama, hanya modal sering tampil di pariwara atau berita kriminal lokal. Minimal anaknya pejabat atau manusia politik. Mungkin, ini namanya bagian dari dinasti politik.

Ketiga, saya betul-betul tidak kenal dan/atau tahu bahwa calon tsb memang tidak terkenal – baik nama maupun sosok tampangnya –  walau acap getol nongol tampil konyol di berbagai media massa. Bukan karena sekedar punya media massa. Atau geng yang numpang nampang. Entahlah.  

Agaknya ketiga asas tadi seperti “serupa tapi tak sewajah”. Begitulah kejadiannya. Banyak kucing di luar karung yang ditawarkan.

Mungkin pilihan kita nantinya ternyata benar seperti yang kita harapkan. Artinya hak konstitusional sebagai pemilih tidaklah sia-sia atau sekedar menggugurkan kewajiban. Yang kita pilih bisa diharapkan kiprah dan kinerjanya sampai lima tahun ke depan. Tetapi namanya politik, selain jangan pakai kacamata moral, tak ada yang pasti. Terlebih jika caleg masuk DCT atau nominator bakal calon kepala daerah, dekat atau bagian intengrak dari KKN, bisa-bisa rakyat pemilih bisanya gigit jari.

Jangan heran kalau ada pembantu presiden hanya karena menang merek. Memang bukan pilihan rakyat. Tetapi efek dari pilihan rakyat, secara berjenjang. Wakil rakyat yang menilik namanya adalah mr/mrs X yr, yang mungkin di tempat tinggalnya tidak dikenal akan langkah politiknya. Atau teman sepermainan, tahu sedikit banyak kadar ideologinya.

Jadi bagaimana rumusan pemilih yang cerdas!  Khususnya saat melihat bakal calon, kandidat, nominator yang seolah tampak cerdas.

Rakyat atau pemilih merasa berdosa, atau merasa punya andil, jika ternyata sang pilihan hanya sekedar ala kadarnya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar