penguasa klas oplosan vs rakyat permanent
underclass
Berkesimpulan bahwa jangan-jangan pada pesta demokrasi lima tahunan (pilkada
maupun pemilu legsilatif) akan terjadi pemilih klas II. Betapa tidak, menilik
dari DCT, ada 3 kategori asas kenal dan/atau tahu atas nominator :
Pertama, saya kenal dan/atau tahu bahwa kandidat
tsb karena yang saya kenal, minimal hanya sebatas kenal nama – ooo, ini si A,
itu si B - bukan kenal orang. Apalagi kenal secara pribadi. Mata rantai, dia
temannya dari teman kita yang sudah lama tidak jumpa.
Kedua, saya kenal dan/atau tahu bahwa nominator
tsb memang betul-betul tidak saya kenal, tidak terkenal dan tidak punya nama,
hanya modal sering tampil di pariwara atau berita kriminal lokal. Minimal anaknya
pejabat atau manusia politik. Mungkin, ini namanya bagian dari dinasti politik.
Ketiga, saya betul-betul tidak kenal
dan/atau tahu bahwa calon tsb memang tidak terkenal – baik nama maupun sosok
tampangnya – walau acap getol nongol
tampil konyol di berbagai media massa. Bukan karena sekedar punya media massa. Atau
geng yang numpang nampang. Entahlah.
Agaknya ketiga asas tadi seperti “serupa tapi tak sewajah”. Begitulah kejadiannya.
Banyak kucing di luar karung yang ditawarkan.
Mungkin pilihan kita nantinya ternyata benar seperti yang kita harapkan. Artinya
hak konstitusional sebagai pemilih tidaklah sia-sia atau sekedar menggugurkan
kewajiban. Yang kita pilih bisa diharapkan kiprah dan kinerjanya sampai lima
tahun ke depan. Tetapi namanya politik, selain jangan pakai kacamata moral, tak
ada yang pasti. Terlebih jika caleg masuk DCT atau nominator bakal calon kepala
daerah, dekat atau bagian intengrak dari KKN, bisa-bisa rakyat pemilih bisanya
gigit jari.
Jangan heran kalau ada pembantu presiden hanya karena menang merek. Memang bukan
pilihan rakyat. Tetapi efek dari pilihan rakyat, secara berjenjang. Wakil rakyat
yang menilik namanya adalah mr/mrs X yr, yang mungkin di tempat tinggalnya
tidak dikenal akan langkah politiknya. Atau teman sepermainan, tahu sedikit
banyak kadar ideologinya.
Jadi bagaimana
rumusan pemilih yang cerdas! Khususnya saat melihat bakal calon, kandidat,
nominator yang seolah tampak cerdas.
Rakyat
atau pemilih merasa berdosa, atau merasa punya andil, jika ternyata sang
pilihan hanya sekedar ala kadarnya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar