duka ibu Pertiwi tidak berujung dendam
Ibu
Pertiwi menjasi saksi bisu atas berbagai kejadian peristiwa di tanah air NKRI. Bersyukur
karena dengan yang tahu banyak, akan diam seribu bahasa. Hukum alam
mensyaratkan, siapa yang berbuat banyak buat, bagi, untuk nusa bangsa, tak
merasa bangga. Tak merasa berjasa. Apalagi sampai tepuk dada, unjuk diri, tanya
selera.
Ibu
Pertiwi memang cukup pusing jika menyaksikan tindak ucap, tingkah laku, olah
fisik dan raga anak manusia. Modal berhala reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa)
menjadikan anak bangsa, putera asli daerah atau tepatnya kader parpol yang
sedang naik daun, serta merta menggunakan kewenangannya melampaui panggilan
tugas.
Ibu
Pertiwi selalu usap dada, tepuk jidat melihat fakta bahwa telah terjadi
pergeseran makna loyalitas, kesetiaan, pengabdian. Mengacu perubahan kedua UUD
NRI tahun 1945, berupa :
BAB XII
PERTAHANAN
DAN KEAMANAN NEGARA
Pasal 30
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan
dan keamanan negara.
(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan
dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan
pendukung.
(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan
memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum.
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya,
syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan
undang-undang.
Ternyata,
nyatanya bangsa ini sudah berorientasi pada orang bukan pada sistem. Kendati
sosok presiden dan wakil presiden, khususnya tampilan figur sang kepala negara
acap dilecehkan oleh parpol pengusungnya. Bahkan di-stigma hanya sebagai
petugas partai.
Yang
membuat miris hati ibu Pertiwi, yaitu betapa rakyat mendapat posisi sebagai permanent
ubderclass maupun uneducated people. Hak konstitusional rakyat hanya
dibutuhkan pada saat hari-H pencoblosan. Rakyat yang telah menggunakan hak konstitusional,
ada “harga”-nya, yaitu sebagai dasar penentuan dana partai politik.
Jadi,
ibu Pertiwi semangkin bingung karena petugas negara mengabdi kepada kekuasaan. Itu
belum seberapa, kawanan partai politik, yang tidak kebagian kue besar atau
kursi sebagai penyelenggara negara tidak seperti yang diharapkan.
Singkat
kata, sistem karir di jajaran militer maupun di kalangan sipil, tak berlaku
jika tak main politik. Lagi-lagi harus loyal, setia, patuh, taat, tunduk pada
orang.
Aneka
dendam muncul dipermukaan demokrasi Nusantara. Karena bak angkara murka, jangan
heran didominasi wajah merah. Hebatnya, walau wajah berwarna merah namun bentuk
muka bukan masuk kategori raksasawan/raksasawati.
Ibu
Pertiwi sudah siaga satu ketika langit merah semakinm memerah. Investor politik
dengan dalih area perdagangan bebas, minimal masyarakat ekonomI ASEAN,
menjadikan NKRI menjadi ajang berbalas dendam. Tersedia dendam berlapis.
Ibu
Pertiwi terkesan membiarkan antar penyelenggara negara seperti adu dendam. Tindak
pidana korupsi menjadi bagian integral dari negara multipartai.
Dendam
semakin mempernyatakan mana yang masuk kategori “musuh negara” dan/atau mana
yang masuk bilangan “musuh rakyat”.
Di panggung,
syahwat, industry politik, antar pelaku sudah tidak bisa membedakan mana kawan
mana lawan. bahkan di sosok pribadi pelaku, antara kaki-tangan kanan sudah
tidak seia-sekata dengan kaki-tangan kiri. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar