Halaman

Sabtu, 05 Agustus 2017

duka ibu Pertiwi tidak berujung dendam



duka ibu Pertiwi tidak berujung dendam

Ibu Pertiwi menjasi saksi bisu atas berbagai kejadian peristiwa di tanah air NKRI. Bersyukur karena dengan yang tahu banyak, akan diam seribu bahasa. Hukum alam mensyaratkan, siapa yang berbuat banyak buat, bagi, untuk nusa bangsa, tak merasa bangga. Tak merasa berjasa. Apalagi sampai tepuk dada, unjuk diri, tanya selera.

Ibu Pertiwi memang cukup pusing jika menyaksikan tindak ucap, tingkah laku, olah fisik dan raga anak manusia. Modal berhala reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa) menjadikan anak bangsa, putera asli daerah atau tepatnya kader parpol yang sedang naik daun, serta merta menggunakan kewenangannya melampaui panggilan tugas.

Ibu Pertiwi selalu usap dada, tepuk jidat melihat fakta bahwa telah terjadi pergeseran makna loyalitas, kesetiaan, pengabdian. Mengacu perubahan kedua UUD NRI tahun 1945, berupa :

BAB XII
PERTAHANAN
DAN KEAMANAN NEGARA

Pasal 30
(1)    Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
(2)   Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
(3)   Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
(4)   Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
(5)   Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.

Ternyata, nyatanya bangsa ini sudah berorientasi pada orang bukan pada sistem. Kendati sosok presiden dan wakil presiden, khususnya tampilan figur sang kepala negara acap dilecehkan oleh parpol pengusungnya. Bahkan di-stigma hanya sebagai petugas partai.

Yang membuat miris hati ibu Pertiwi, yaitu betapa rakyat mendapat posisi sebagai permanent ubderclass maupun uneducated people. Hak konstitusional rakyat hanya dibutuhkan pada saat hari-H pencoblosan. Rakyat yang telah menggunakan hak konstitusional, ada “harga”-nya, yaitu sebagai dasar penentuan dana partai politik.

Jadi, ibu Pertiwi semangkin bingung karena petugas negara mengabdi kepada kekuasaan. Itu belum seberapa, kawanan partai politik, yang tidak kebagian kue besar atau kursi sebagai penyelenggara negara tidak seperti yang diharapkan.

Singkat kata, sistem karir di jajaran militer maupun di kalangan sipil, tak berlaku jika tak main politik. Lagi-lagi harus loyal, setia, patuh, taat, tunduk pada orang.

Aneka dendam muncul dipermukaan demokrasi Nusantara. Karena bak angkara murka, jangan heran didominasi wajah merah. Hebatnya, walau wajah berwarna merah namun bentuk muka bukan masuk kategori raksasawan/raksasawati.

Ibu Pertiwi sudah siaga satu ketika langit merah semakinm memerah. Investor politik dengan dalih area perdagangan bebas, minimal masyarakat ekonomI ASEAN, menjadikan NKRI menjadi ajang berbalas dendam. Tersedia dendam berlapis.

Ibu Pertiwi terkesan membiarkan antar penyelenggara negara seperti adu dendam. Tindak pidana korupsi menjadi bagian integral dari negara multipartai.

Dendam semakin mempernyatakan mana yang masuk kategori “musuh negara” dan/atau mana yang masuk bilangan “musuh rakyat”.

Di panggung, syahwat, industry politik, antar pelaku sudah tidak bisa membedakan mana kawan mana lawan. bahkan di sosok pribadi pelaku, antara kaki-tangan kanan sudah tidak seia-sekata dengan kaki-tangan kiri. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar