Halaman

Kamis, 10 Agustus 2017

menjawab basa-basi : “Mau kemana?”



menjawab basa-basi : “Mau kemana?”

Entah karena bangsa kita memang peramah, atau memang mudah akrab dengan orang lain yang belum dikenal tetapi sering jumpa. Atau ada unsur penguasaan dan praktik bahasa Indonesia baku yang benat dan baik.

Riwayat yang akan saya tayangkan ini sederhana.

Jika dihitung, berapa kali kita berjumpa orang, dan selalu mendapat pertanyaan standar : “Mau kemana?”. Pertanyaan yang sama dengan jawaban yang tidak sama, karena beda waktu dan keadaan. Bukan karena beda penanya. Ironisnya, saat bertemu, berpapasan rangkaian orang yang berlawanan arah, kita mendapat pertanyaan yang sama.

Saat kita berjalan kaki dan berjumpa orang, atau meliwati kawanan orang dan/atau manusia yang sedang nongkrong dan nangkring, maka satu persatu jika kita sapa mereka akan mengajukan pertanyaan yang sama.

Inilah sifat peubah daya pikir orang dan/atau manusia Nusantara. Bukan sekedar keinginan tahuan, atau pehobi sibuk dengan urusan orang lain. Tapi sebagai budaya atau budi pekerti berasaskan “sapa, senyum, salam, sopan, santun”.

Jadi pertanyaan : “Mau kemana?” sebagai pertanyaan universal, mendunia. Ingat saat kita belajar bahasa Inggeris.

Jadi, kalau kita belajar bahasa Indonesia dimulai dengan kalimat “Ini ibu Budi”, membuat kita tak terbiasa rajin bertanya. Peribahasa “malu bertanya sesat di jalan”, seolah menjadikan diri kita seperti terjebak di jalan sesat.

Tak heran jika ada sebagian dari kita yang merasa bisa. Atau merasa keakuannya muncul dan harus diakui. “Ini ibu Budi” menjadikan diri, menunjukkan jati diri, eksistensi siapa kita. Siapa sesungguhnya kita. Artinya, jangan anggap remeh saya. Semakin diperkuat dengan atribut, asesoris fisik, gelar, pangkat, jabatan dan tampilan, gaya di atas rata-rata.

Nyaris lupa, selain tanya basa-basi “mau kemana?”, dilengkapi dengan sejenisnya yaitu “dari mana?”.

Betapa saking ramahnya orang, saat saya berdiri di depan rumah, sambil cek tanaman, orang liwat malah yang bertanya : “Mau kemana pak?”. Dunia menjadi terbalik.

Lain orang dengan tanya yang sama. Saat saya sedang memanaskan mesin mobil, tentu dengan busana orang di rumah, ada tetangga liwat. Pertanyaannya : :Mau kemana Pak?”. Saya hanya bisa tersenyum, tidak menjawab.

Ironis binti miris, jalan kaki menjelajahi jalan di kompleks, ada kerumunan orang dan/atau manusia, entah tangan siapa yang melambai sambil teriak jarak jauh : Mau kemana Pak?”. Kalau unsur nalar dipakai, namanya sedang jalan dengan busana rumah, tentu sudah layak dan patut diduga.

Hebatnya lagi, pas pulang dari bepergian, menuju rumah jalan kaki. Di jalan ketemu warga yang sudah kenal, otomatis rekaman pelajaran bahasa muncul. Praktik bahasa tanya :”Mau kemana Pak?”. Nada tanyanya terkesan asal, atau mungkin pas mau menguap, saya liwat. Jadilah pertanyaaan baku.

Pembaca pada posisi yang banyak bertanya “mau kemana?” agar tak menyesatkan diri atau sebagai pihak yang menerima manfaat pertanyaan “mau kemana?”. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar