menjawab basa-basi : “Mau kemana?”
Entah karena bangsa kita
memang peramah, atau memang mudah akrab dengan orang lain yang belum dikenal
tetapi sering jumpa. Atau ada unsur penguasaan dan praktik bahasa Indonesia
baku yang benat dan baik.
Riwayat yang akan saya
tayangkan ini sederhana.
Jika dihitung, berapa
kali kita berjumpa orang, dan selalu mendapat pertanyaan standar : “Mau kemana?”. Pertanyaan yang sama dengan jawaban yang tidak
sama, karena beda waktu dan keadaan. Bukan karena beda penanya. Ironisnya, saat
bertemu, berpapasan rangkaian orang yang berlawanan arah, kita mendapat
pertanyaan yang sama.
Saat kita berjalan kaki
dan berjumpa orang, atau meliwati kawanan orang dan/atau manusia yang sedang
nongkrong dan nangkring, maka satu persatu jika kita sapa mereka akan
mengajukan pertanyaan yang sama.
Inilah sifat peubah daya
pikir orang dan/atau manusia Nusantara. Bukan sekedar keinginan tahuan, atau
pehobi sibuk dengan urusan orang lain. Tapi sebagai budaya atau budi pekerti berasaskan
“sapa, senyum, salam, sopan, santun”.
Jadi pertanyaan : “Mau kemana?”
sebagai pertanyaan universal, mendunia. Ingat saat kita belajar bahasa Inggeris.
Jadi, kalau kita belajar
bahasa Indonesia dimulai dengan kalimat “Ini ibu Budi”, membuat kita tak
terbiasa rajin bertanya. Peribahasa “malu bertanya sesat di jalan”, seolah
menjadikan diri kita seperti terjebak di jalan sesat.
Tak heran jika ada
sebagian dari kita yang merasa bisa. Atau merasa keakuannya muncul dan harus
diakui. “Ini ibu Budi” menjadikan diri, menunjukkan jati diri, eksistensi siapa
kita. Siapa sesungguhnya kita. Artinya, jangan anggap remeh saya. Semakin diperkuat
dengan atribut, asesoris fisik, gelar, pangkat, jabatan dan tampilan, gaya di
atas rata-rata.
Nyaris lupa, selain
tanya basa-basi “mau kemana?”, dilengkapi dengan sejenisnya yaitu “dari mana?”.
Betapa saking ramahnya
orang, saat saya berdiri di depan rumah, sambil cek tanaman, orang liwat malah
yang bertanya : “Mau kemana pak?”. Dunia menjadi terbalik.
Lain orang dengan tanya
yang sama. Saat saya sedang memanaskan mesin mobil, tentu dengan busana orang
di rumah, ada tetangga liwat. Pertanyaannya : :Mau kemana Pak?”. Saya hanya
bisa tersenyum, tidak menjawab.
Ironis binti miris,
jalan kaki menjelajahi jalan di kompleks, ada kerumunan orang dan/atau manusia,
entah tangan siapa yang melambai sambil teriak jarak jauh : Mau kemana Pak?”. Kalau
unsur nalar dipakai, namanya sedang jalan dengan busana rumah, tentu sudah
layak dan patut diduga.
Hebatnya lagi, pas
pulang dari bepergian, menuju rumah jalan kaki. Di jalan ketemu warga yang
sudah kenal, otomatis rekaman pelajaran bahasa muncul. Praktik bahasa tanya :”Mau
kemana Pak?”. Nada tanyanya terkesan asal, atau mungkin pas mau menguap, saya
liwat. Jadilah pertanyaaan baku.
Pembaca pada posisi yang
banyak bertanya “mau kemana?” agar tak menyesatkan diri atau sebagai pihak yang
menerima manfaat pertanyaan “mau kemana?”. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar