Saatnya Selamatkan Sisa-Sisa Kemerdekaan
Lepas dari fakta
sejarah, bahwa tipikor mengalami pelambatan atau sebaliknya, maupun sedang
proses pemerataan sampai tingkat kelurahan/desa. Seberapanya tipikor
mempengaruhi produk domestik bruto terkait dengan konsumsi rumah tangga. Akibat
gaya hidup, gengsi, gaul kalangan koruptor.
Daftar tunggu bakal
calon koruptor tidak sampai satu periode.
Negara tampak adem-ayem
dengan dampak korupsi yang secara yuridis formal masuk pasal merugikan negara. Hukum
diberlakukan bukan karena pasal yang dilanggar, tetapi siapa yang berpekara.
Negara tak risau dengan
dengan antrian bakal calon koruptor. Semakin ada saja yang terkena OTT KPK,
semakin antrian tidak berhenti. Kaderisasi atau rekruitmen tetap berjalan.
Pemerintah atau penguasa
percaya dengan eksistensi UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Artinya tidak perlu menetapkan Perpu. Jangan lupa kawan,
bahwa tipikor merupakan bagian integral dari sistem negara multipartai.
Mengapa masih marak
perilaku, tidak laku yang mengarah ke tipkor. Kita cupilk lagu kebangsaan
Indonesia Raya, fokus pada :
(II)
Indonesia tanah yang mulia,
tanah kita yang kaya
Di sanalah aku berada,
untuk s'lama lamanya
Indonesia tanah pusaka,
p'saka kita semuanya
Marilah kita mendo'a,
Indonesia bahagia
NKRI sebagai negara
multipartai. Sah-sah saja jika semua partai politik memanfaatkan “tanah kita yang kaya”. Partai politik yang ditempa
kehidupan sejak pra-proklamasi sampai pasca reformasi. Mereka siap siaga saling
curiga, jangan sampai kedahuluan. Berkat semangat nasionalisme, patriotisme dan
pancasilais jangan sampai “tanah kita yang kaya” dikeduk, dikeruk, dikelupas, disedot oleh bangsa lain. Dimanfaatkan pleh
bangsa dan kepentingan asing.
Dalih pesta demokrasi semakin
menjadikan laga kandang antar parpol menjadi bebas, liar dan seolah tak ada
aturan main. Jurus andalan, tenaga dalam maupun luar, senjata pamungkas,
aji-aji, jimat, ramuan ajaib, dikeluarkan agar merasa “Di sanalah aku berada”. Secara garis keturunan, anak
idelogis, merasa berhak atas warisan kekuasaan dari bapak kakek moyangnya.
Kawanan parpol yang tidak sabar antri sesuai aturan main. Perorangan yang
merasa bisa, merasa paling berhak menjadi berdiri paling depan, dengan
mendirikan sebuah parpol. Budaya jalan pintas menjadikan anak bangsa, putera
asli daerah, orang dan/atau manusia Nusantara melakukan modus konstituisonal
karena “di sanalah aku berada, untuk s'lama lamanya”.
Maraknya dinasti politik atau politik dinasti, bentuk disintegrasi bangsa secara konstitusional,
sejalan dengan makna sederhana “Indonesia tanah pusaka, p'saka kita semuanya”. Artinya, kalau tanah pusaka tidak dimanfaatkan oleh bangsa sendiri, akan
direbut bangsa lain.
Pasang surut model demokrasi yang ada di Indonesia, mengarah ke bentuk
dinastokrasi (dynast-ocracy). Apapun bunyinya politik dinasti atau dinasti politik atau dinastokrasi nyatanya
bahwa MK melalui Putusan Nomor
33/PUU-XIII/2015 telah menyatakan praktik dinasti politik sebagai praktik yang
sah sesuai dengan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jangan putus asa. Kita lacak Perpu 2/2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Fokus pada penjelasan Pasal 59 Ayat
(3) Huruf a, yang berbunyi :
Yang dimaksud dengan "melakukan kegiatan separatis" adalah kegiatan yang ditujukan untuk
memisahkan bagian dari atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
atau menguasai bagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
baik atas dasar etnis, agama, maupun ras.
Jadi kendati ada fakta bahwa di tingkat kabupaten/kota bahkan di tingkat provinsi,
sebagai ajang praktik dinastokrasi, masih belum mengarah ke kondisi désintegrasi.
Pertanyaan dalam hati, mampukah politik bisa menimbulkan konflik, semacam
dengan sebutan konflik politik, konflik ideologi.
Mengacu kamus dan bahasa politik, ternyata antara koalisi, konspirasi,
kompromi, kongkalingkong dan sejenisnya sampai konlik adalah sami mawon.
Dipertegas sebagai paket politik. Dari aspek historis, kemasan paket dengan
berbagai versi mempengaruhi biaya politik dalam negeri.
Tidak ada jeleknya kalau kita simak UU 7/2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial. Fokus pada :
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Konflik Sosial, yang selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan
dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau
lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang
mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu
stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.
Bersyukur, tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan “stabilitas nasional”. Jadi kita bisa lanjut simak :
Pasal 5
Konflik dapat bersumber dari:
a.
permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya;
b.
perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan
antaretnis;
c.
sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi;
d.
sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan
pelaku usaha; atau
e.
distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.
Jangan diartikan bahwa permasalahan yang berkaitan dengan politik sebagai
sumber konflik pertama dan utama.
Berkat rasa serakah melampaui, melebihi panggilan tugas dan wewenangnya,
malah secara sengaja mengundang penjahat impor. Tamu agung dari negara yang
paling bersahabat, kendati sudah dua kali jadi sponsor makar 1948 dan 1965.
Diterima di istana presiden dengan gelar karpet merah.
“Marilah kita mendo'a, Indonesia bahagia”. Artinya tidak akan terjadi disparitas, kesenjangan, ketimpangan antardaerah.
Berkat pilkada serentak maka kepala daerah adalah putera terbaik daerah.
Sebagai penutup, kita cuplik bait penutup lagu kebangsaan Indonesia Raya :
S'lamatlah rakyatnya,
s'lamatlah putranya
Pulaunya, lautnya semuanya
Majulah negrinya, majulah
pandunya
Untuk Indonesia Raya
Jadi, rakyat yang duduk
di lapisan permukaan, kontrak politik lima tahun sebagai penyelenggara negara,
karena waktu, akan terkelupas. Tak bisa “dis’lamatkan” karena kontrak sudah
habis. Itu makna bait penutup dimaksud. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar