hanya di NKRI, praktik cinta
produk Indonesia plus bela negara, berujung stigma makar
Niat baik anak bangsa, putera puteri asli daerah, orang dan/atau manusia
Nusantara – secara religi – sudah merupakan
setengah amal. Atau amal seseorang terganfung niatnya. Karena keberadaan
dimana kita berada, seolah dengan niat sekali berlaku untuk semua urusan. Khusus
untuk urusan dunia. Niat sapujagad, kalau sudah niat berarti semua cara menjadi
itulah cara terbaik. Masuk akal dan bisa diterima akal sehat.
Terkadang segala tindakan bersifat spontan, reflek atau serba otomatis dari
rangkaian sebab-akibat. Rutinitas kehidupan harian menjadikan kita bak robot,
bak mesin bernyawa.
Begitu kaki menanpak, melangkah keluar dari halaman rumah, maka hukum dunia
yang berlaku. Begitu motor atau mobil
masuk jalan umum, maka yang berlaku adalah jargon “siapa kuat akan menjadi raja”.
Memasuki kancah, palagan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka “tindak tutur ucap penguasa adalah hukum”. Diperkuat oleh media massa berbayar, yang dengan setia tetapi siaga
untuk menjegal dan menjagal, dengan sengaja menjadi corong.
Ketahanan pangan dipolitisir dengan pendekatan humanis agar jangan sampai
terjadi rakyat kelaparan, gizi buruk atau asupan nutrisi terkontaminasi
intervensi asing. Urusan dapur keluarga, ketersediaan bumbu dapur, menjadikan
pemerintah kebakaran jenggot.
Menghadapi ‘penjahat impor’, sang Bhayangkara berdalih tidak mempunyai wewenang
melakukan pasal Pengawasan Orang Asing (POA). Tetapi merasa berwenang bertindak
melampaui, melebihi panggilan tugas untuk mengawasi beras klas rakyat atau
raskin.
Rakyat bersyukur sebagai pihak yang tidak bisa berhubungan dengan pihak
asing. Kecuali bisa berkominukasi dengan
turis mancanegara yang berkunjung ke daerah tujuan wisata. Jangan diartikan
dengan berbodongnya tenaga kerja asing akibat efek domino masyarakat ekonomi
ASEAN. Atau dampak perdaganagn bebas dunia. Khususnya karena Indonesia ramah investor.
Letak wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia, karena
lokasi yang strategis, baik dari segi geografis maupun segi sumber daya alam,
membuat banyaknya orang asing dari negara tetangga atau berasal dari negara lain
ingin masuk dan datang ke Indonesia. Bahkan transportasi laut dunia 40%nya
meliwati wilayah perairan NKRI.
Orang asing
tersebut pada hakikatnya mempunyai niat dan tujuan serta keperluan, kepentingan,
kebutuhan beraneka ragam. Sebagai tamu yang tak diundang sampai menjadi tamu
kehormatan presiden. Dengan dalih untuk
berwisata, berniaga, kunjungan kerja, tengok lelihir dan keluarga, menjadi
bagian kerja sama antar pemerintah serta dan ada pula yang hanya iseng transit.
Orang asing yang memasuki wilayah Indonesia harus
memiliki izin yang dikeluarkan pejabat imigrasi yang berwenang. Kecuali untuk negara
tertentu, menjadi subyek bebas visa kunjungan singkat (BVKS) yang diatur dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga
Atas Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2003 tentang BVKS.
Ketika bangsa ini dijajah oleh serbuan produk dan budaya asing, bahkan
untuk urusan dapur pun. Siapa yang wajib bela? Dari dalam, dalam satuan waktu
jam, kekayaan alam digerogoti, dikeduk, dikuras tuntas oleh konspirasi asing
secara menerus dan berkelanjutan. Karhutla menjadi menu politik. Siapa yang
wajib bertanggung jawab!
Konon, pola pikir petani lokal, yang masih akrab dengan kearifan budaya lokal,
adat istiadat setempat dan merasa bagian dari lingkungan hidup, masih menyatu
dan menghargai alam. Membuka lahan garapan, memang ada yang masih secara
tradisonal, dengan main bakar. Itu pun dengan skala kecil, sesuai kebutuhan
komunitas. Dibakar untuk diolah, bukan dibiarkan menjalar kian kemari. Mereka
tidak gampang diiming-imingi Rp, tidak mudah dibujuk rayu untuk mengkhianati
lingkungannya. Mereka tidak tergiur manisnya dolar.
Konon, petani lokal yang sudah mengenal politik, yaitu apa artinya
kekayaan, kekuasaan dan kekuatan, bisa berubah pikiran. Apalagi kalau dibuat
mabuk kenikmatan sesaat. Apalagi jika key person, sudah bisa dielus-elus
oleh pengusaha, atau diintimidasi oleh oknum penguasa lokal. Bisa juga yang
mempertahankan hak atas tanah garapannya, yang luput dari liputan media massa,
akan mengalami dakwaan pasal berlapis.
Penyelenggara negara yang terjadi dari komplotan partai politik, kawanan
parpolois memang telah menerapkan asas dan makna ‘pengabdian sesuai dengan
profesi’ adalah pengabdian warga negara yang mempunyai profesi tertentu untuk
kepentingan pertahanan negara termasuk dalam menanggulangi dan/atau memperkecil
akibat yang ditimbulkan oleh perang, bencana alam, atau bencana lainnya (UU
3/2002 tentang Pertahanan Negara).
Saat rakyat bergelut, bergumul dengan nasibnya yang mempraktikkan ekonomi
sehari, bak burung terbang jelang fajar berkibar, pulang tembolok sarat rezeki
buat anaknya, kawanan parpolis mulai tingkat daerah (bahkan tingkat kelurahan/desa),
sampai tingkat negara, penyandang wakil rakyat maupun ketua/kepala rakyat, sibuk
menumpuk warisan dunia, warisan dari anak cucunya.
Artinya, diharapkan agar rakyat bersikap acuh, bertindakpasif, tak mau tahu
terhadap kejadian nyata di depan mata. Rakyat diharapkan menghindarkan diri
dari stigma ‘pahlawan kesiangan’.
Jadi, apapun yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukan
tangung jawab rakyat. Rakyat diposisikan sebagai penonton, dilarang ber-reaksi
separah dan sepatah katapun, dengan tangan tengadah ke atas tetapi bukan
untuk berdoa. Namanya penguasa artinya berkuasa menentukan nasib dan masa depan
rakyat. Buaya koq dilawan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar