Halaman

Kamis, 10 Agustus 2017

hanya di NKRI, praktik cinta produk Indonesia plus bela negara, berujung stigma makar



hanya di NKRI, praktik cinta produk Indonesia plus bela negara, berujung stigma makar

Niat baik anak bangsa, putera puteri asli daerah, orang dan/atau manusia Nusantara – secara religi – sudah merupakan  setengah amal. Atau amal seseorang terganfung niatnya. Karena keberadaan dimana kita berada, seolah dengan niat sekali berlaku untuk semua urusan. Khusus untuk urusan dunia. Niat sapujagad, kalau sudah niat berarti semua cara menjadi itulah cara terbaik. Masuk akal dan bisa diterima akal sehat.

Terkadang segala tindakan bersifat spontan, reflek atau serba otomatis dari rangkaian sebab-akibat. Rutinitas kehidupan harian menjadikan kita bak robot, bak mesin bernyawa.

Begitu kaki menanpak, melangkah keluar dari halaman rumah, maka hukum dunia yang berlaku.  Begitu motor atau mobil masuk jalan umum, maka yang berlaku adalah jargon “siapa kuat akan menjadi raja”.

Memasuki kancah, palagan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka “tindak tutur ucap penguasa adalah hukum”. Diperkuat oleh media massa berbayar, yang dengan setia tetapi siaga untuk menjegal dan menjagal, dengan sengaja menjadi corong.

Ketahanan pangan dipolitisir dengan pendekatan humanis agar jangan sampai terjadi rakyat kelaparan, gizi buruk atau asupan nutrisi terkontaminasi intervensi asing. Urusan dapur keluarga, ketersediaan bumbu dapur, menjadikan pemerintah kebakaran jenggot.

Menghadapi ‘penjahat impor’, sang Bhayangkara berdalih tidak mempunyai wewenang melakukan pasal Pengawasan Orang Asing (POA). Tetapi merasa berwenang bertindak melampaui, melebihi panggilan tugas untuk mengawasi beras klas rakyat atau raskin.

Rakyat bersyukur sebagai pihak yang tidak bisa berhubungan dengan pihak asing.  Kecuali bisa berkominukasi dengan turis mancanegara yang berkunjung ke daerah tujuan wisata. Jangan diartikan dengan berbodongnya tenaga kerja asing akibat efek domino masyarakat ekonomi ASEAN. Atau dampak perdaganagn bebas dunia. Khususnya karena Indonesia ramah investor.

Letak wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia, karena lokasi yang strategis, baik dari segi geografis maupun segi sumber daya alam, membuat banyaknya orang asing dari negara tetangga atau berasal dari negara lain ingin masuk dan datang ke Indonesia. Bahkan transportasi laut dunia 40%nya meliwati wilayah perairan NKRI.

 Orang asing tersebut pada hakikatnya mempunyai niat dan tujuan serta keperluan, kepentingan, kebutuhan beraneka ragam. Sebagai tamu yang tak diundang sampai menjadi tamu kehormatan presiden.  Dengan dalih untuk berwisata, berniaga, kunjungan kerja, tengok lelihir dan keluarga, menjadi bagian kerja sama antar pemerintah serta dan ada pula yang hanya iseng transit.

Orang asing yang memasuki wilayah Indonesia harus memiliki izin yang dikeluarkan pejabat imigrasi yang berwenang. Kecuali untuk negara tertentu, menjadi subyek bebas visa kunjungan singkat (BVKS) yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2003 tentang BVKS.  

Ketika bangsa ini dijajah oleh serbuan produk dan budaya asing, bahkan untuk urusan dapur pun. Siapa yang wajib bela? Dari dalam, dalam satuan waktu jam, kekayaan alam digerogoti, dikeduk, dikuras tuntas oleh konspirasi asing secara menerus dan berkelanjutan. Karhutla menjadi menu politik. Siapa yang wajib bertanggung jawab!

Konon, pola pikir petani lokal, yang masih akrab dengan kearifan budaya lokal, adat istiadat setempat dan merasa bagian dari lingkungan hidup, masih menyatu dan menghargai alam. Membuka lahan garapan, memang ada yang masih secara tradisonal, dengan main bakar. Itu pun dengan skala kecil, sesuai kebutuhan komunitas. Dibakar untuk diolah, bukan dibiarkan menjalar kian kemari. Mereka tidak gampang diiming-imingi Rp, tidak mudah dibujuk rayu untuk mengkhianati lingkungannya. Mereka tidak tergiur manisnya dolar.

Konon, petani lokal yang sudah mengenal politik, yaitu apa artinya kekayaan, kekuasaan dan kekuatan, bisa berubah pikiran. Apalagi kalau dibuat mabuk kenikmatan sesaat. Apalagi jika key person, sudah bisa dielus-elus oleh pengusaha, atau diintimidasi oleh oknum penguasa lokal. Bisa juga yang mempertahankan hak atas tanah garapannya, yang luput dari liputan media massa, akan mengalami dakwaan pasal berlapis.

Penyelenggara negara yang terjadi dari komplotan partai politik, kawanan parpolois memang telah menerapkan asas dan makna ‘pengabdian sesuai dengan profesi’ adalah pengabdian warga negara yang mempunyai profesi tertentu untuk kepentingan pertahanan negara termasuk dalam menanggulangi dan/atau memperkecil akibat yang ditimbulkan oleh perang, bencana alam, atau bencana lainnya (UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara).

Saat rakyat bergelut, bergumul dengan nasibnya yang mempraktikkan ekonomi sehari, bak burung terbang jelang fajar berkibar, pulang tembolok sarat rezeki buat anaknya, kawanan parpolis mulai tingkat daerah (bahkan tingkat kelurahan/desa), sampai tingkat negara, penyandang wakil rakyat maupun ketua/kepala rakyat, sibuk menumpuk warisan dunia, warisan dari anak cucunya.

Artinya, diharapkan agar rakyat bersikap acuh, bertindakpasif, tak mau tahu terhadap kejadian nyata di depan mata. Rakyat diharapkan menghindarkan diri dari stigma ‘pahlawan kesiangan’.

Jadi, apapun yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukan tangung jawab rakyat. Rakyat diposisikan sebagai penonton, dilarang ber-reaksi separah dan sepatah katapun, dengan tangan tengadah ke atas tetapi bukan untuk berdoa. Namanya penguasa artinya berkuasa menentukan nasib dan masa depan rakyat. Buaya koq dilawan. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar