gerakan separatis vs dinasti politik
Betul asas prasangka
pembaca, bahwasanya judul di atas bukan masuk membandingkan, menandingkan maupun
menyandingkan. Bukan karena tak layak, tapi mungkin karena beda dasar hukum.
Dinasti politik atau
sebutan sejenis lainnya – kaitannya dengan hukum MD dan/atau DM bahasa Indonesia
– praktiknya masuk status bahasa poliktik dan skala hukum politik.
Apapun bunyi definisi
atau yang dimaksud dengan “dinasti politik”, nyatanya ternayata sudah suidah
menjadi warisan politik dalam sistem demokrasi yang ada di Indonesia. Praktiknya
terjadi di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.
Langsung kita lihat efek
domino dinasti politik. Singkat kata, tanpa perlu survei dari lembaga survei berbayar
sekalipun, sudah terang-benderang dampaknya, yaitu munculnya pemerintah bayangan. Gubernur maupun bupati/walikota bisa menjadi
raja-raja kecil atau penguasa daerah dengan segala sepak terbangnya dan daya
jangkau aneka ambisinya.
Dinasti politik semakin
mengakar jika kepala daerah mempunyai kerabat di legislatif. Selain pondasi
ekonomi yang mumpuni, kepala daerah atau raja lokal, didukung oleh pengusaha
daerah.
Pasang surut model
demokrasi yang ada di Indonesia, mengarah ke bentuk dinastokrasi
(dynast-ocracy). Apapun bunyinya politik dinasti atau dinasti politik atau
dinastokrasi nyatanya bahwa MK melalui Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 telah
menyatakan praktik dinasti politik sebagai praktik yang sah sesuai dengan
konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jangan putus asa. Kita lacak Perpu 2/2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Fokus pada penjelasan Pasal 59
Ayat (4) Huruf b, yang berbunyi :
Yang dimaksud dengan
"melakukan kegiatan
separatis" adalah kegiatan
yang ditujukan untuk memisahkan bagian dari atau seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau menguasai bagian atau seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, baik atas dasar etnis, agama, maupun ras.
Jadi kendati ada fakta
bahwa di tingkat kabupaten/kota bahkan di tingkat provinsi, sebagai ajang
praktik dinastokrasi, masih belum mengarah ke kondisi disintegrasi.
Lanjut dengan fokus pada
penjelasan Pasal 59 Ayat (4) Huruf b, yang berbunyi :
Yang
dimaksud dengan "tindakan permusuhan” adalah ucapan,
pernyataan, sikap atau aspirasi, baik secara lisan maupun tertulis, baik
melalui media elektronik maupun tidak melalui media elektronik yang menimbulkan
kebencian, baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap setiap orang
termasuk ke penyelenggara negara.
.Tentunya pihak yang melakukan praktik
dinasti politk dengan segala unsur kesengajaan, tidak memiliki niat jahat
(mens-rea) atau itikad tidak baik yang terkandung di balik gaya
politiknya. Pelaku dinasti politik
disinyalir tak ada niat politik yang jahat kendati telah nyata dari adanya
"persiapan perbuatan" (voorbereidingings handeling) yang tidak
dapat dipidana. Modus perluasan ambisi
politik dengan adanya percobaan, pembantuan, atau permufakatan niat baik
politik.
Terlebih jika rakyat lokal menganggap secara sederhana bahwa
pelaku dinasti politik adalah keluarga kaya sejak dari sono-nya, dan
berpendidikan atau bergelar akademis. Rakyat pemilih mengganggap kawanan dinasti politik akan memakmurkan dan
mensejahterakan daerahnya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar