Halaman

Selasa, 15 Agustus 2017

gerakan separatis vs dinasti politik



gerakan separatis vs dinasti politik

Betul asas prasangka pembaca, bahwasanya judul di atas bukan masuk membandingkan, menandingkan maupun menyandingkan. Bukan karena tak layak, tapi mungkin karena beda dasar hukum.

Dinasti politik atau sebutan sejenis lainnya – kaitannya dengan hukum MD dan/atau DM bahasa Indonesia – praktiknya masuk status bahasa poliktik dan skala hukum politik.

Apapun bunyi definisi atau yang dimaksud dengan “dinasti politik”, nyatanya ternayata sudah suidah menjadi warisan politik dalam sistem demokrasi yang ada di Indonesia. Praktiknya terjadi di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.

Langsung kita lihat efek domino dinasti politik. Singkat kata, tanpa perlu survei dari lembaga survei berbayar sekalipun, sudah terang-benderang dampaknya, yaitu munculnya pemerintah bayangan. Gubernur maupun bupati/walikota bisa menjadi raja-raja kecil atau penguasa daerah dengan segala sepak terbangnya dan daya jangkau aneka ambisinya.

Dinasti politik semakin mengakar jika kepala daerah mempunyai kerabat di legislatif. Selain pondasi ekonomi yang mumpuni, kepala daerah atau raja lokal, didukung oleh pengusaha daerah.

Pasang surut model demokrasi yang ada di Indonesia, mengarah ke bentuk dinastokrasi (dynast-ocracy). Apapun bunyinya politik dinasti atau dinasti politik atau dinastokrasi nyatanya bahwa MK melalui Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 telah menyatakan praktik dinasti politik sebagai praktik yang sah sesuai dengan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jangan putus asa. Kita lacak Perpu 2/2017  tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Fokus pada penjelasan Pasal 59 Ayat (4) Huruf b, yang berbunyi :

Yang dimaksud dengan "melakukan kegiatan separatis" adalah kegiatan yang ditujukan untuk memisahkan bagian dari atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau menguasai bagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik atas dasar etnis, agama, maupun ras.

Jadi kendati ada fakta bahwa di tingkat kabupaten/kota bahkan di tingkat provinsi, sebagai ajang praktik dinastokrasi, masih belum mengarah ke kondisi disintegrasi.

Lanjut dengan fokus pada penjelasan Pasal 59 Ayat (4) Huruf b, yang berbunyi :
Yang dimaksud dengan "tindakan permusuhan” adalah ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik secara lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik maupun tidak melalui media elektronik yang menimbulkan kebencian, baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap setiap orang termasuk ke penyelenggara negara.

.Tentunya pihak yang melakukan praktik dinasti politk dengan segala unsur kesengajaan, tidak memiliki niat jahat (mens-rea) atau itikad tidak baik yang terkandung di balik gaya politiknya. Pelaku dinasti politik disinyalir tak ada niat politik yang  jahat kendati telah nyata dari adanya "persiapan perbuatan" (voorbereidingings handeling) yang tidak dapat dipidana.  Modus perluasan ambisi politik dengan adanya percobaan, pembantuan, atau permufakatan niat baik politik.

Terlebih jika rakyat lokal menganggap secara sederhana bahwa pelaku dinasti politik adalah keluarga kaya sejak dari sono-nya, dan berpendidikan atau bergelar akademis.   Rakyat pemilih mengganggap  kawanan dinasti politik akan memakmurkan dan mensejahterakan daerahnya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar