Halaman

Senin, 09 Maret 2020

praktik demokrasi Indonesia Emas menjadi guru peradaban zaman sekarang


praktik demokrasi Indonesia Emas menjadi guru peradaban zaman sekarang

Bermula dari filosofi “peradaban membuat bukti masa depan vs politik mencari bukti masa lalu”. Asumsi historis kehidupan manusia politik nusantara. Fakta yang sulit dibantah apalagi diabaikan. Menjadi pelajaran tak mengikat. Tak semua silsilah, nasab menjadi kebanggaan. Sukses dunia akibat kursi politik menentukan keberlanjutan trah keluarga. Merasa jasa, daya juang dan keringat leluhur menjadikan dirinya ikut luhur. Merasa tinggal melanjutkan, mewarisi kekuasaan plus memiliki negara.

Ketika bangsa Indonesia pasca Proklamasi mencari bentuk hubungan keterkaitan, kesalingan, interaksi maupun relasi timbal balik dengan negara lain. Pendekatan   persatuan Indonesia pakai pola berbagi kursi atas kepentingan semua pihak yang merasa berjasa. Bentuk pemerintahan pun, lebih ditentukan kepentingan penguasa. Itu sekarang, pasca reformasi. Adab bernegara nusantara masuk stadium ‘balik adab’.

Dilema adab nusantara, tekanan ekonomi vs ambisi politik. Orkestra nasional memadupadankan lagu lawas kebutuhan rakyat dengan tembang anyar terbarukan kepentingan partai. Demi urusan perut, rakyat elit (ekonomi sulit) mau tak mau masuk pasar jual jasa bawah perut. Sampai klas prostitusi online atau dalam jaringan. Jual diri dengan mengkorbankan harga diri, martabat kemanusiaan.

Pihak lain. Demi nikmat pantat. Meraih harga sebuah kursi kekuasaan, biaya politik plus ongkos politik pakai pasal jual bangsa. Ambisi kawanan politisi sipil sekaliber petugas partai tahu apa itu nikmat kursi, nikmat dunia. Pakai semboyan apapun, barter politik jalankan agenda utama skenario politik multinasional, konspirasi politik global.

Problematik klasik kemaslahatan bangsa, adab pengabdian vs abdi peradaban. Adab menjadi sumber hukum. Kendati adab tidak ada aparat atau pihak yang berwenang, yang berwajib memberikan sanksi. Adab bagian utama dari konsep dan pedoman religi dalam melaksanakan ibadah sosial. Adab sarat kandungan moral. Tidak bisa dipelajari secara formal. Ditanamkan sejak dalam kandungan. Adab menjadikan manusia bisa menjalankan dirinya sebagai manusia seutuhnya. Menjadi abdi atas dirinya. Busana politik menjadikan manusia menjadi setengah manusia.

Keseimbangan alam terjadi di panggung politik nusantara. Siapa yang Pancasila, tak jauh-jauh, seputar lokasi bahan baku galian sila-silanya dan barangsiapa siapa yang patut diduga anti-Pancasila, adalah yang  kian jauh dari rakyat. Karena panggilan tugas negara. Dipermukaan kenegaraan, budaya korupsi menandakan manusia politik sibuk melakoni kontrak politik pasca pesta demokrasi.

Pelaku politik – bahkan sekaliber petugas partai – kendati masuk klas nasional, masih bak katak di bawah tempurung zonasi nusantara. Belajar dari sejarah masa lalu yang tak pernah berlalu, maka kesempatan terakhir sangat menentukan masa depan bangsa dan khususnya penguasa. Pilpres 2014 dan 2019, mengundang mengandung keprihatinan anak bangsa primitif pribumi nusantara. Seolah tidak ada pengkaderan di internal parpol, tak terjadi pencetakan cikal bakal pemimpin nasional. Sisi lain, memunculkan dikotomi supremasi sipil vs dominasi militer.

Formulasi Indonesia Emas dengan segala aspek berbangsa dan bernegara. Tarik mundur isi jiwa rakyat merdeka dengan ibu kota negara jilid II. Kita wajib belajar dari masa depan. Kapan lagi. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar