praktik demokrasi Indonesia Emas
menjadi guru peradaban zaman sekarang
Bermula dari filosofi “peradaban membuat bukti masa depan
vs politik mencari bukti masa lalu”. Asumsi historis kehidupan manusia politik
nusantara. Fakta yang sulit dibantah apalagi diabaikan. Menjadi pelajaran tak
mengikat. Tak semua silsilah, nasab menjadi kebanggaan. Sukses dunia akibat
kursi politik menentukan keberlanjutan trah keluarga. Merasa jasa, daya juang
dan keringat leluhur menjadikan dirinya ikut luhur. Merasa tinggal melanjutkan,
mewarisi kekuasaan plus memiliki negara.
Ketika bangsa Indonesia pasca Proklamasi mencari bentuk
hubungan keterkaitan, kesalingan, interaksi maupun relasi timbal balik dengan
negara lain. Pendekatan persatuan Indonesia
pakai pola berbagi kursi atas kepentingan semua pihak yang merasa berjasa. Bentuk
pemerintahan pun, lebih ditentukan kepentingan penguasa. Itu sekarang, pasca
reformasi. Adab bernegara nusantara masuk stadium ‘balik adab’.
Dilema adab nusantara, tekanan ekonomi vs ambisi politik.
Orkestra nasional memadupadankan lagu lawas kebutuhan rakyat dengan tembang
anyar terbarukan kepentingan partai. Demi urusan perut, rakyat elit (ekonomi
sulit) mau tak mau masuk pasar jual jasa bawah perut. Sampai klas prostitusi
online atau dalam jaringan. Jual diri dengan mengkorbankan harga diri, martabat
kemanusiaan.
Pihak lain. Demi nikmat pantat. Meraih harga sebuah kursi
kekuasaan, biaya politik plus ongkos politik pakai pasal jual bangsa. Ambisi
kawanan politisi sipil sekaliber petugas partai tahu apa itu nikmat kursi,
nikmat dunia. Pakai semboyan apapun, barter politik jalankan agenda utama skenario
politik multinasional, konspirasi politik global.
Problematik klasik kemaslahatan bangsa, adab pengabdian
vs abdi peradaban. Adab menjadi sumber hukum. Kendati adab tidak ada aparat
atau pihak yang berwenang, yang berwajib memberikan sanksi. Adab bagian utama
dari konsep dan pedoman religi dalam melaksanakan ibadah sosial. Adab sarat
kandungan moral. Tidak bisa dipelajari secara formal. Ditanamkan sejak dalam
kandungan. Adab menjadikan manusia bisa menjalankan dirinya sebagai manusia
seutuhnya. Menjadi abdi atas dirinya. Busana politik menjadikan manusia menjadi
setengah manusia.
Keseimbangan alam terjadi di panggung politik nusantara.
Siapa yang Pancasila, tak jauh-jauh, seputar lokasi bahan baku galian
sila-silanya dan barangsiapa siapa yang patut diduga anti-Pancasila, adalah
yang kian jauh dari rakyat. Karena
panggilan tugas negara. Dipermukaan kenegaraan, budaya korupsi menandakan
manusia politik sibuk melakoni kontrak politik pasca pesta demokrasi.
Pelaku politik – bahkan sekaliber petugas partai –
kendati masuk klas nasional, masih bak katak di bawah tempurung zonasi nusantara.
Belajar dari sejarah masa lalu yang tak pernah berlalu, maka kesempatan
terakhir sangat menentukan masa depan bangsa dan khususnya penguasa. Pilpres
2014 dan 2019, mengundang mengandung keprihatinan anak bangsa primitif pribumi
nusantara. Seolah tidak ada pengkaderan di internal parpol, tak terjadi pencetakan
cikal bakal pemimpin nasional. Sisi lain, memunculkan dikotomi supremasi sipil
vs dominasi militer.
Formulasi Indonesia Emas dengan segala aspek berbangsa
dan bernegara. Tarik mundur isi jiwa rakyat merdeka dengan ibu kota negara
jilid II. Kita wajib belajar dari masa depan. Kapan lagi. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar