calon ingus pun ikut terlempar
Fenomena alam karena ada perpaduan antara gaya tarik bumi,
gravitasi dengan geothermal. Kurang begitu
terik karena mendung tidak merata. Waktu kisah 10 menit jelang azan dzuhur
waktu lokal. Bukan tanpa sengaja walau tak ada alasan khusus. Karena jelang
subuh di masjid belum sempat push-up,
maka kulakukan di lapangan.
Push-up dengan tangan mengepal. Tidak mengejar jumlah
atau waktu aktif. Intinya, pemanasan lebih fokus ke atur dan olah nafas plus
pemusatan pikiran. Standar yang kupakai, saat selesai push-up nafas tetap
normal. Kalau bergegas pun, secukupnya
tidak ngos-ngosan. Seperti kinerja nafas jalan kaki cepat sejarak 2 km. Detak
jantung terasa tetap relatif datar. Rasanya tidak seperti usai jalan kaki.
Suasana sepi karena efek sebaran virus asing bersebut
corona variant terakhir, Covid-19. Ke lapangan hanya berjarak empat rumah tipe
KPR-BTN zaman Orde Baru. Panas lapangan terasa di kento menambah
kapalan.
Pada hitungan ke-30, push-up saya sudahi dengan posisi badan
rata-rata air. Tarik nafas pelan sambil bangkit. Nafas agak sedikit memburu. Pandangan
mata normal. Entah kenapa, seperti reflex buang ingus. Mulai dari lubang hidung
kiri. Di luar dugaan, gumpalan ingus plus calon ingus tergelontor keluar. Terasa
saat melaju di tenggorokan. Ingus jalur lubang hidung kanan, keluar dalam
jumlah normal seadanya. Nafas jadi plong dan tubuh bugar. Pulang dengan gagah
tak perlu busung dada.
Padahal, sebelum dan saat push-up tidak ada gangguan
peringusan. Nafas tetap dipertahankan pakai hidung, mulut terjatup rapat. Kepala
menoleh ke kanan maupun ke kiri, pemerataan agar leher tak protes. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar