berprasangka buruk kepada diri
sendiri
Bukan sebagai pasal yang
dianjurkan. Tetapi demi kemuliaan diri, sesekali atau sekali dalam seumur hidup
bisa dipakai. Agar tak salah paham, bisa ambil pakai paket dasar, sederhana,
tak pakai putar otak ke segala arah penjuru. Perenungan atas nasib diri. Nasib tidak
berkonotasi apes, begitu-begitu saja. Tanpa perubahan yang terasa di jiwa.
Tekanan lingkungan
bersatu dengan arus pembangkitan rasa juara. Pukul rata, secuwil makian bebas
menjadikan dirinya diperhitungkan di dunia maya. Pasang foto penguasa merasa
sebagai bukti loyal tulen. Kemajuan produk teknologi informasi dan komunikasi
kian membelah jiwa yang labil. Di saat yang sama merasa eksis di dua kutub yang
kontradiksi.
Jiwa yang sarat dengan
fitrah sebagai hamba-Nya, berduel, bertarung bebas dengan jiwa bebas yang
fungsi nikmat dunia. Konflik internal tubuh menjadi menu rutin. Bisikan kata
hati, mulai kerapan sayu-sayup sampai menggugah rasa, terabaikan secara modern.
Begitu jiwa terjaga, hirupan nafas kian membuka wawasan untuk utamakan pasal
pelena diri.
Wajar ikhwal ini mangkal
di generasi yang sedang keranjingan kerajinan ujung jari tangan. Kalau menjadi
karakter, ciri khas generasi bau tanah. Apa kata liang lahat. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar