Halaman

Minggu, 29 Maret 2020

merasa pewaris kursi notonegoro


merasa pewaris kursi notonegoro

Para pekerja, penggarap, petugas partai melanjutkan usaha industri politik keluarga atau warisan dari orangtua mereka sendiri. P4T atau penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah garapan, lahan politik untuk tanaman politik  diperoleh secara turun-temurun, antar generasi trah, warisan leluhur. Terutama yang sebelumnya sebagai pendiri sebuah partai politik.

Menggeluti industri politik keluarga, bukan tanpa ATHG alias ancaman, tantangan, hambatan, gangguan. Persaingan internal antar anggota keluarga bisa lebih kejam ketimbang antar kader partai. Bilamana sangat dimungkinkan karena ada sebutan putera mahkota, anak emas, anak mami. Atau faktor keunggulan yang belum ada di struktur dinasti politik.

Oknum ketua umum yang nyaris seumur hidup. Pola alih peran, kaderisasi akan jalan di tempat. Tak heran, siapa saja asal kuat bayarannya, penyandang nama komersial, tukang tapi punya massa bayaram, bisa langsung jadi elie partai. Atau mendapat nomer jadi saat pesta demokrasi.

Fakta besar di bawah bayang-bayang orangtua, di balik nama besar leluhur atau dibesarkan di lingkungan penguasa formal. Akhirnya anak keturunan ambil sikap sederhana, yaitu sebagai pelanjut, penerus, pelestari kursi kekuasaan.

Dibutuhkan nyali tinggi untuk beda langkah. Terlebih mulai dari nol, start dari papan bawah plus modal mandiri, saham pribadi.

Bagi trah yang punya tanah garapan, lahan politik serta penguasaan pasar domestik tingkat lokal secara layak, tinggal pandai-pandai ikut arus adab zaman. Menjadi  ‘orang kuat lokal’ maupun ‘pemerintah bayangan berkelanjutan’ dituntut tetap jeli berbagi kursi dengan lawan politik, tetangga sebelah demi stabilitas kursi sendiri. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar