merasa pewaris kursi
notonegoro
Para
pekerja, penggarap, petugas partai melanjutkan usaha industri politik keluarga atau
warisan dari orangtua mereka sendiri. P4T atau penguasaan, pemilikan,
penggunaan, pemanfaatan tanah garapan, lahan politik untuk tanaman politik diperoleh secara turun-temurun, antar generasi
trah, warisan leluhur. Terutama yang sebelumnya sebagai pendiri sebuah partai
politik.
Menggeluti
industri politik keluarga, bukan tanpa ATHG alias ancaman, tantangan, hambatan,
gangguan. Persaingan internal antar anggota keluarga bisa lebih kejam ketimbang
antar kader partai. Bilamana sangat dimungkinkan karena ada sebutan putera
mahkota, anak emas, anak mami. Atau faktor keunggulan yang belum ada di
struktur dinasti politik.
Oknum
ketua umum yang nyaris seumur hidup. Pola alih peran, kaderisasi akan jalan di
tempat. Tak heran, siapa saja asal kuat bayarannya, penyandang nama komersial,
tukang tapi punya massa bayaram, bisa langsung jadi elie partai. Atau mendapat
nomer jadi saat pesta demokrasi.
Fakta
besar di bawah bayang-bayang orangtua, di balik nama besar leluhur atau
dibesarkan di lingkungan penguasa formal. Akhirnya anak keturunan ambil sikap
sederhana, yaitu sebagai pelanjut, penerus, pelestari kursi kekuasaan.
Dibutuhkan
nyali tinggi untuk beda langkah. Terlebih mulai dari nol, start dari papan
bawah plus modal mandiri, saham pribadi.
Bagi
trah yang punya tanah garapan, lahan politik serta penguasaan pasar domestik
tingkat lokal secara layak, tinggal pandai-pandai ikut arus adab zaman. Menjadi
‘orang kuat lokal’ maupun ‘pemerintah
bayangan berkelanjutan’ dituntut tetap jeli berbagi kursi dengan lawan politik,
tetangga sebelah demi stabilitas kursi sendiri. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar