Halaman

Senin, 16 Maret 2020

dilema jiwa manusia politik nusantara, asuransi jiwa vs restorasi jiwa


dilema jiwa manusia politik nusantara, asuransi jiwa vs restorasi jiwa

Tindak amoral, laku asusila, ujaran tak senonoh jika dilakukan secara rutin menerus tanpa ada pihak yang berkeberatan. Ditambah dilakukan secara massal, aklamasi, segala usia dan gender. Ditunjang pelaku, pengguna aktif bukan orang biasa. Maka secara otomatis dianggap wajar, lumrah dan menjadi kebaikan. Menjadi adat beradab manusia politik nusantara. Sedemikian menjiwai, mendarah daging, merasuk ke struktur tubuh manusia politik.

Jangan gumunan, kagetan jika di awal 100 hari pertama kontrak politik pasca sumpah janji kepala negara, kepala daerah, wakil rakyat, wakil daerah muncul watak aselinya. Perjuangan bertaruh jiwa raga, menggadaikan harga diri demi sebuah kursi tentu butuh tumbal, imbalan.

Tidak ada jaminan politis untuk bisa sampai jatuh tempo, akhir tanggal kontrak. Tiap saat tagihan rekening balik lunas biaya politik, naik tanpa info awal. Maka daripada itu, gaya garing oknum ketua umum parpol dadakan sampai kawanan wakil rakyat abal-abal cukup meyakinkan.

Modus gaya pertama. Tampilan diri agar tampak pro-rakyat. Merasa dekat dan bagian integral, sentral rakyat segala kasta. Pakai jargon politik, negara adalah partai politik. Padahal parpol miliknya. Sigap berkolaborasi dengan aneka kubu, jenis aliran politik. Amankan diri tanpa perlu harga diri.

Modus gaya kedua. Mati-matian tampil layak cerdas diri. Pakai kata, ungkapan kata yang tak dipakai anak jalanan. Dikemas sebagai bahan diskusi, dialog, debat di acara Indonesia lawak klub. Tak sadar memposisikan diri sebagai comedian politik. Semangkin tak lucu, kian membeberkan aib diri. Pakai kontrak politik sekali tampil.

Bahwasanya (partai) politik menjadi satu-satunya mata pencaharian yang tak perlu syarat néko-néko: daya moralitas, aspek santun, rasa sensitivitas, jiwa ksatria, sifat kerakyatan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar