dilema jiwa manusia politik
nusantara, asuransi jiwa vs restorasi jiwa
Tindak amoral, laku
asusila, ujaran tak senonoh jika dilakukan secara rutin menerus tanpa ada pihak
yang berkeberatan. Ditambah dilakukan secara massal, aklamasi, segala usia dan
gender. Ditunjang pelaku, pengguna aktif bukan orang biasa. Maka secara
otomatis dianggap wajar, lumrah dan menjadi kebaikan. Menjadi adat beradab
manusia politik nusantara. Sedemikian menjiwai, mendarah daging, merasuk ke
struktur tubuh manusia politik.
Jangan gumunan,
kagetan jika di awal 100 hari pertama kontrak politik pasca sumpah janji
kepala negara, kepala daerah, wakil rakyat, wakil daerah muncul watak aselinya.
Perjuangan bertaruh jiwa raga, menggadaikan harga diri demi sebuah kursi tentu
butuh tumbal, imbalan.
Tidak ada jaminan
politis untuk bisa sampai jatuh tempo, akhir tanggal kontrak. Tiap saat tagihan
rekening balik lunas biaya politik, naik tanpa info awal. Maka daripada itu,
gaya garing oknum ketua umum parpol dadakan sampai kawanan wakil rakyat
abal-abal cukup meyakinkan.
Modus gaya pertama. Tampilan
diri agar tampak pro-rakyat. Merasa dekat dan bagian integral, sentral rakyat
segala kasta. Pakai jargon politik, negara adalah partai politik. Padahal parpol
miliknya. Sigap berkolaborasi dengan aneka kubu, jenis aliran politik. Amankan diri
tanpa perlu harga diri.
Modus gaya kedua.
Mati-matian tampil layak cerdas diri. Pakai kata, ungkapan kata yang tak
dipakai anak jalanan. Dikemas sebagai bahan diskusi, dialog, debat di acara
Indonesia lawak klub. Tak sadar memposisikan diri sebagai comedian politik. Semangkin
tak lucu, kian membeberkan aib diri. Pakai kontrak politik sekali tampil.
Bahwasanya (partai)
politik menjadi satu-satunya mata pencaharian yang tak perlu syarat néko-néko: daya moralitas, aspek
santun, rasa sensitivitas, jiwa ksatria, sifat kerakyatan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar