menghamba kepada diri
sendiri
Tentu bukan sebagai
ketentuan hidup mandiri berketahanan. Hidup di negeri berdasar asas animisme,
dinamisme plus multipartai harus
pandai-pandai. Tekanan politik menjadikan anak bangsa kian kreatif, dinamis dan
sigap saling libas dalam lipatan. Tak terkecuali malah memunculkan gaya hidup
mati gaya, gaya-gayaan asal gaya.
Bermula dari kredo “konflik
internal tubuh menjadi menu rutin” bagi yang tak sigap diri. Lakoni hidup bak
air mengalir, bukan sesuai prinsip udara bisa dimana saja, kapan saja, kemana
saja. Daya pikir akal mirip zat padat yang sudah solid namun rentan gesekan,
gosokan. Makin dipakai malah kian uzur.
Asupan religi menjadi
formalitas kebangsaan. Ketika guru disatru, diseteru. Sebaliknya, sumber daya
konflik terpendam dijadikan sumber daya politik. Sedemikiannya, dibahas dengan
pendekatan apa pun sulit untuk menemukan biang perkaranya.
Ikhwal ini jauh dari
lagak lagu percaya diri. Alat pelindung diri dari invasi virus ideologi global
tak cukup dengan perisai pada burung Garuda Pancasila. Terus masihkah kita
percaya dengan bisikan kata hati sendiri. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar