Halaman

Kamis, 05 November 2015

tegaknya demokrasi Indonesia, bukan karena obat kuat dan dielus-elus

tegaknya demokrasi Indonesia, bukan karena obat kuat dan dielus-elus

Resep sederhana yang merakyat, rumus bangku sekolah yang masuk akal masyarakat awam, formulasi akademis yang dapat dicerna akal rakyat tentang apa itu demokrasi ala Indonesia, dengan menggunakan bahasa rakyat. Bukan bahasa Dewa. Demokrasi bukan hal yang sakral, namun tidak tabu untuk dikritisi.

Demokrasi bersifat dinamis, tergantung pejalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia. Demokrasi memang bukan harga mati, tetapi Indonesia wajib menegakkan demokrasi.

Demokrasi lebih dipraktikkan daripada dijadikan topik, tema seminar nasional. Dilaksanakan secara total dan berkesinambungan oleh segenap jajaran, seluruh tatanan penyelenggara negara. Demokrasi diperkokoh dalam kehidupan nyata sehari-hari masyarakat. Demokrasi bukan kebebasan menyampaikan pendapat dengan turun ke jalan, melakukan unjuk rasa dan unjuk raga.

Tegaknya demokrasi versi Indonesia, bukan karena fungsi angka, bilangan apalagi jumlah. Pesta demokrasi lima tahunan memakai  batasan %, mendapat % terbanyak, berarti yang terpilih. Atau pakai rumusan tertentu. Inilah yang menjadikan demokrasi Indonesia jalan di tempat, walau belum bisa dibilang jalan mundur.

Pelaku demokrasi Indonesia hanya mengandalkan jumlah, banyaknya, kuantitas, bukan pada kualitas. Masih ingat coretan kata asu gedhé menang kerahé, tegesé wong gedhé lan nduwé panguwasa menang kuwasané.

Betapa saat pemilu 1999, PDI-P keluar sebagai juara umum dengan meraih 35.689.073 suara atau 33,74% dengan perolehan 153 kursi. Pemilu 1999 belum ada pilpres. Apa yang terjadi di periode 1999-2004 serta 2004-2009 dan 2009-2014 tidak perlu kita komentari. Ironis, periode 2014-2019 sebagai ajang pembuktian bahwa juara umum pesta demokrasi 2014 tidak siap memang, tidak siap tampil berada di depan memimpin bangsa, negara dan masyarakat Indonesia.

Artinya, hakikat demokrasi dipolitisir dengan berbagai pasal hukum. Kepala negara, presiden, Pemerintah harus steril dari senggolan kata, harus bebas dari caci maki. padahal, ketika ada yang memberi masukan (bentuk penghalusan makna : kritik, caci, maki, cerca, cela, hujat, hardik, sindir, protes, saran, himbau, tuding) langsung kepada kita, apapun reaksi kita masuk kategori manusiawi.

Karena mereka bisa melihat diri kita, yang kita tidak bisa melihat sendiri. Apalagi tujuannya adalah agar kita lebih benar dan baik. Bahkan orang yang kita anggap ‘anak kemarin sore’ dengan sikap lugu, polos, jujur ternyata bisa menilai kita.

Tegak dan jalannya demokrasi karena timbal balik dengan kondisi aktual dan faktual di lapangan. Ada kritik, kontrol, kendali dari berbagai pihak, khususnya rakyat yang tak terikat oleh masa jabatan sebagai rakyat.

Pemerintah tentunya tak akan membiarkan menggelindingnya demokrasi diarahkan oleh pelaku ekonomi. Penyelenggara negara yang sedang mabuk berhala Reformasi 3K (Kuasa, Kuat, Kaya) justru sumber awal potensi untuk mengkebiri demokrasi secara formal.

Terkadang demokrasi ala Indonesia dijalankan dengan pasal hukum rimba. Ketika media masa menjadi katalisator kisruh bangsa, bukan diantisipasi, preventif maupun proaktif. Orang bersuara bisa berurusan dengan pasal. Jangan sampai cacing menggeliat di bawah sepatu demokrasi Nusantara. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar