tegaknya demokrasi Indonesia, bukan
karena obat kuat dan dielus-elus
Resep sederhana yang
merakyat, rumus bangku sekolah yang masuk akal masyarakat awam, formulasi
akademis yang dapat dicerna akal rakyat tentang apa itu demokrasi ala
Indonesia, dengan menggunakan bahasa rakyat. Bukan bahasa Dewa. Demokrasi bukan hal yang
sakral, namun tidak tabu untuk dikritisi.
Demokrasi bersifat dinamis,
tergantung pejalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia. Demokrasi memang
bukan harga mati, tetapi Indonesia wajib menegakkan demokrasi.
Demokrasi lebih dipraktikkan
daripada dijadikan topik, tema seminar nasional. Dilaksanakan secara total dan
berkesinambungan oleh segenap jajaran, seluruh tatanan penyelenggara negara.
Demokrasi diperkokoh dalam kehidupan nyata sehari-hari masyarakat. Demokrasi
bukan kebebasan menyampaikan pendapat dengan turun ke jalan, melakukan unjuk
rasa dan unjuk raga.
Tegaknya demokrasi versi
Indonesia, bukan karena fungsi angka, bilangan apalagi jumlah. Pesta demokrasi
lima tahunan memakai batasan %, mendapat
% terbanyak, berarti yang terpilih. Atau pakai rumusan tertentu. Inilah yang
menjadikan demokrasi Indonesia jalan di tempat, walau belum bisa dibilang jalan mundur.
Pelaku demokrasi Indonesia
hanya mengandalkan jumlah, banyaknya, kuantitas, bukan pada kualitas. Masih
ingat coretan kata asu gedhé
menang kerahé, tegesé wong gedhé lan nduwé panguwasa menang
kuwasané.
Betapa
saat pemilu 1999, PDI-P keluar sebagai juara umum dengan meraih 35.689.073
suara atau 33,74% dengan
perolehan 153 kursi. Pemilu 1999 belum ada pilpres. Apa yang terjadi di
periode 1999-2004 serta 2004-2009 dan 2009-2014 tidak perlu kita komentari.
Ironis, periode 2014-2019 sebagai ajang pembuktian bahwa juara umum pesta
demokrasi 2014 tidak siap memang, tidak siap tampil berada di depan memimpin bangsa, negara dan
masyarakat Indonesia.
Artinya,
hakikat demokrasi dipolitisir dengan berbagai pasal hukum. Kepala negara,
presiden, Pemerintah harus steril dari senggolan kata, harus bebas dari caci
maki. padahal, ketika ada yang
memberi masukan (bentuk penghalusan makna : kritik, caci, maki, cerca, cela,
hujat, hardik, sindir, protes, saran, himbau, tuding) langsung kepada kita,
apapun reaksi kita masuk kategori manusiawi.
Karena mereka bisa melihat diri kita, yang kita tidak
bisa melihat sendiri. Apalagi tujuannya adalah agar kita lebih benar dan baik.
Bahkan orang yang kita anggap ‘anak kemarin sore’ dengan sikap lugu, polos,
jujur ternyata bisa menilai kita.
Tegak dan jalannya demokrasi karena timbal balik
dengan kondisi aktual dan faktual di lapangan. Ada kritik, kontrol, kendali
dari berbagai pihak, khususnya rakyat yang tak terikat oleh masa jabatan
sebagai rakyat.
Pemerintah tentunya tak akan membiarkan menggelindingnya
demokrasi diarahkan oleh pelaku
ekonomi. Penyelenggara negara yang sedang mabuk berhala Reformasi 3K
(Kuasa, Kuat, Kaya) justru sumber awal potensi untuk mengkebiri demokrasi
secara formal.
Terkadang demokrasi ala Indonesia dijalankan dengan
pasal hukum rimba. Ketika media masa menjadi katalisator kisruh bangsa, bukan
diantisipasi, preventif maupun proaktif. Orang bersuara bisa berurusan dengan
pasal. Jangan sampai cacing
menggeliat di bawah sepatu demokrasi Nusantara. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar