Halaman

Kamis, 12 November 2015

lobi dan jogangan sampah

lobi dan jogangan sampah

Nenek moyang masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta tempat kelahiran penulis, sudah mempraktekkan kebijakan bagaimana caranya memberlakukan sampah. Mereka tidak menggunakan istilah “buanglah sampah pada tempatnya”. Sehingga barang siapa terbukti atau tertangkap tangan ‘membuang sampah’, tidak melanggar pasal kebersihan.

Tanpa himbauan politik, tanpa orasi ilmiah bertajuk restorasi politik abal-abal, tanpa seminar tentang Kesehatan Lingkungan, masyarakat Yogyakarta memasukkan sampak ke lubang sampah. Lubang sampah yaitu tanah yang digali dengan cangkul atau alat lainnya. Ukuran dan kedalaman lubang sampah sesuai keadaan tanah.  Sampah yang dimasukkan adalah sampah organis, sampah yang bisa hancur menyatu dengan tanah.

Ungkapan “gali lubang, tutup lubang” berlaku pada sistem jogangan sampah. Sampah dipadatkan merata, secara berkala, sampai penuh. Gali lubang sampah, tanahnya untuk menutup lubang lama. Begitulah seterusnya.

Jogangan sampah menjadi multimanfaat, multifungsi, karena bisa sebagai sumur resapan. Tanah halaman, pekarangan tidak ditutup dengan perkerasan, kecuali untuk parkir. Air hujan lebih banyak masuk ke bumi, sisanya terbuang melalui saluran drainase/pematusan.

Kemajuan teknologi, jogangan sampah menyeusaikan diri dengan lingkungan hidup, dengan perumahan dan kawasan permukiman. Tanah terbuka di perumahan menjadi barang langka. Rumah tidak sekedar tingkat, bisa menjadi rumah susun, apartemen, dan penamaan ilmiah, intelek, komersial lainnya. Muncul ide lobang biopori (lobi). Jogangan sampah skala mini. Minimalisasi jogangan sampah. Sampah non-organis lebih dominan.

Di daerah padat bangunan, padat penduduk, padat lalu lintas, sampah masyarakat malah bertebaran di mana-mana. Mereka tampil bisa berjas, berdasi. Orasi politik dengan semangat menghiba-hiba. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar