lobi dan jogangan sampah
Nenek moyang masyarakat Jawa, khususnya
Yogyakarta tempat kelahiran penulis, sudah mempraktekkan kebijakan bagaimana
caranya memberlakukan sampah. Mereka tidak menggunakan istilah “buanglah sampah
pada tempatnya”. Sehingga barang siapa terbukti atau tertangkap tangan ‘membuang
sampah’, tidak melanggar pasal kebersihan.
Tanpa himbauan politik, tanpa orasi ilmiah
bertajuk restorasi politik abal-abal, tanpa seminar tentang Kesehatan
Lingkungan, masyarakat Yogyakarta memasukkan sampak ke lubang sampah. Lubang
sampah yaitu tanah yang digali dengan cangkul atau alat lainnya. Ukuran dan
kedalaman lubang sampah sesuai keadaan tanah.
Sampah yang dimasukkan adalah sampah organis, sampah yang bisa hancur
menyatu dengan tanah.
Ungkapan “gali lubang, tutup lubang” berlaku
pada sistem jogangan sampah. Sampah dipadatkan merata, secara berkala, sampai
penuh. Gali lubang sampah, tanahnya untuk menutup lubang lama. Begitulah
seterusnya.
Jogangan sampah menjadi multimanfaat,
multifungsi, karena bisa sebagai sumur resapan. Tanah halaman, pekarangan tidak
ditutup dengan perkerasan, kecuali untuk parkir. Air hujan lebih banyak masuk
ke bumi, sisanya terbuang melalui saluran drainase/pematusan.
Kemajuan teknologi, jogangan sampah
menyeusaikan diri dengan lingkungan hidup, dengan perumahan dan kawasan
permukiman. Tanah terbuka di perumahan menjadi barang langka. Rumah tidak
sekedar tingkat, bisa menjadi rumah susun, apartemen, dan penamaan ilmiah,
intelek, komersial lainnya. Muncul ide lobang biopori (lobi). Jogangan sampah
skala mini. Minimalisasi jogangan sampah. Sampah non-organis lebih dominan.
Di daerah padat bangunan, padat penduduk,
padat lalu lintas, sampah masyarakat malah bertebaran di mana-mana. Mereka tampil
bisa berjas, berdasi. Orasi politik dengan semangat menghiba-hiba. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar