sesungguhnya Allah tiada segan
membuat perumpamaan
Beranjak dari satu ayat Al
Quran, semakin dikupas, dikelupas, dibahas, walau tidak sampai dikuras tuntas,
selain terkait dengan ayat lainnya sebagai ayat qouliyah, ternyata dan nyatanya
sekaligus terkait dengan ayat kauniyah (fenomena dan fakta alam).
Ayat demi ayat diturunkan, diwahyukan
oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Rasulullah saw. “Bahasa bumi” dipakai
Allah agar umat Islam dan umat lainnya saat itu dapat memahaminya, memetik
hikmah, mengambil pelajaran yang terkadung. Umat Islam menghayati makna satu
ayat sampai meresap dalam qolbu, dalam hati sanubari, menyatu dengan tulang
sumsum, menjadi bagian darah daging, baru pindah ke ayat lanjut.
Manusia memang ahli
bantah-membantah, bahkan terhadap yang sudah dikerjakan, dilakukan tiap hari.
Di era Pascareformasi, ahli bantah seolah mendapat poisisi kedudukan
prestisius, bergensi, berklas. Menjadi manusia bermartabat diatas rata-rata
manusia pada umumnya. Padahal, membantah kebenaran tanpa
pengetahuan adalah perbuatan yang tercela.
Nyaris lupa, betapa Allah
tidak langsung memvonis kelakuan manusia, masih memberi toleransi, masih
memperpanjang batas waktu. Waktu selalu berganti. Karena batasan waktu
ditentukan oleh orbit dan garis edar perjalanan matahari dan rembulan, tak
heran banyak kejadian dan peristiwa seolah berulang kembali. Sejarah manusia
berulang. Seolah manusia mengalami hal yang sama dengan leluhurnya. Manusia
mereplikasi suatu kejadian ke tempat lainnya. Manusia mendaur ulang kesuksesan
nenek moyangnya.
Manusia menjadi tidak mampu
membaca tanda zaman, membaca gejala alam. Bukannya, bukankah sejak masa
Rasulullah saw, manusia memang tidak mampu membaca perumpamaan. Rangkaian
peristiwa dan kejadian, yang disuratkan dan disiratkan dalam Al Quran, mengingatkan
kita betapa [QS Az Zumar (39) : 27] : “Sesungguhnya
telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran ini setiap macam perumpamaan
supaya mereka dapat pelajaran.”
Manusia
Indonesia, kaya dengan budaya, termasuk bahasa, mempunyai perumpamaan dalam
bentuk ibarat, tamsil, perlambang atau
karya sastra lainnya. Ada bahasa keraton sampai ada bahasa rakyat. Perumpamaan
dikemas secara santun, dengan gaya bahasa yang sampai sekarang terkadang susah
diikuti, namun menggigit. Banyak
yang tinggal sebagai dokumen bersejarah, Banyak yang masih berlaku sampai
sekarang. Atau faktanya baru diketahui, disadari “muncul” sekarang.
Sastra Jawa mengenal saloka (yaitu ungkapan yang memiliki makna
kiasan dan mengandung perumpamaan pada subyek yang dikiaskan, misalnya kebo nusu
gudel). Mempunyai bebasan (yaitu ungkapan yang memiliki makna
kias dan mengandung perumpamaan pada keadaan yang dikiaskan, misalnya nabok
nyilih tangan).
Memberlakukan paribasan (yaitu ungkapan yang memiliki makna
kias namun tidak mengandung perumpamaan, misalnya dudu sanak
dudu kadang, yen mati melu kelangan).
Islam sebagai agama langit, mengatur hubungan manusia
dengan manusia dan alam lingkungan, menentukan, menetapkan dan
memastikan hubungan manusia dengan Allah. Urusan dunia yang nampak ringan,
sepele, kecil tak luput dari yang tersirat dan tersurat di Al Quran. Urusan
akhirat sedemikan rinci, sistematis, berbagai alternatif yang tidak memberatkan
hamba-Nya, dijelaskan. jika umat Islam masih terbata-bata menafsirkan makna
kandungan, firman-Nya, dibantu dengan Sunnah Rasul atau Hadist.
Tujuan
perumpamaan dalam Al Quran dijelaskan melalui berbagai surah dan ayatnya.
Berbagai perumpamaan jika kita simak, terkait tentang perkara keji, kufur dan menyekutukan Allah, kemunafikan, amal orang
kafir, ingkar janji, kampung yang ingkar akan nikmat Allah, mengumpat, perkataan
buruk, serta tentang Allah, iman, ilmu Allah, cahaya Allah, nikmat surga, kebangkitan,
kehidupan dunia, hubungan perkawinan, masyarakat Islam, nafkah dan amal
kebaikan, perkataan baik.
Terkait perkara keji, betapa Allah berfirman, kita
simak di [QS Al Hajj (22) : 73]
: “Hai manusia,
telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan
seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu
merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari
lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.”
Kejadian faktual, aktual dan nyata terang-benderang di
depan mata, kita seolah tak melihat. Kita tak tanggap, kurang peka, tak ambil
perduli atau bersikap masa bodoh. Acuh tak acuh, kalau bereaksi takut jadi
saksi. Takut dilibatkan dengan urusan yang tak jelas ujung pangkalnya. Takut
stigma pahlawan kesiangan.
Kabut asap malah dipolitisir, menjadi wacana politik, tidak
disikapi secara dewasa, cerdas dan bermanfaat bagai kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat. Menjadi perdebatan para ahli debat. Saling
berbantah untuk menunjuk siapa yang layak jadi ‘kambing hitam’. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar