Halaman

Selasa, 03 November 2015

sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan

sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan


Beranjak dari satu ayat Al Quran, semakin dikupas, dikelupas, dibahas, walau tidak sampai dikuras tuntas, selain terkait dengan ayat lainnya sebagai ayat qouliyah, ternyata dan nyatanya sekaligus terkait dengan ayat kauniyah (fenomena dan fakta alam).

Ayat demi ayat diturunkan, diwahyukan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Rasulullah saw. “Bahasa bumi” dipakai Allah agar umat Islam dan umat lainnya saat itu dapat memahaminya, memetik hikmah, mengambil pelajaran yang terkadung. Umat Islam menghayati makna satu ayat sampai meresap dalam qolbu, dalam hati sanubari, menyatu dengan tulang sumsum, menjadi bagian darah daging, baru pindah ke ayat lanjut.

Manusia memang ahli bantah-membantah, bahkan terhadap yang sudah dikerjakan, dilakukan tiap hari. Di era Pascareformasi, ahli bantah seolah mendapat poisisi kedudukan prestisius, bergensi, berklas. Menjadi manusia bermartabat diatas rata-rata manusia pada umumnya. Padahal, membantah kebenaran tanpa pengetahuan adalah perbuatan yang tercela.

Nyaris lupa, betapa Allah tidak langsung memvonis kelakuan manusia, masih memberi toleransi, masih memperpanjang batas waktu. Waktu selalu berganti. Karena batasan waktu ditentukan oleh orbit dan garis edar perjalanan matahari dan rembulan, tak heran banyak kejadian dan peristiwa seolah berulang kembali. Sejarah manusia berulang. Seolah manusia mengalami hal yang sama dengan leluhurnya. Manusia mereplikasi suatu kejadian ke tempat lainnya. Manusia mendaur ulang kesuksesan nenek moyangnya.

Manusia menjadi tidak mampu membaca tanda zaman, membaca gejala alam. Bukannya, bukankah sejak masa Rasulullah saw, manusia memang tidak mampu membaca perumpamaan. Rangkaian peristiwa dan kejadian, yang disuratkan dan disiratkan dalam Al Quran, mengingatkan kita betapa [QS Az Zumar (39) : 27] : “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.”

Manusia Indonesia, kaya dengan budaya, termasuk bahasa, mempunyai perumpamaan dalam bentuk ibarat, tamsil, perlambang  atau karya sastra lainnya. Ada bahasa keraton sampai ada bahasa rakyat. Perumpamaan dikemas secara santun, dengan gaya bahasa yang sampai sekarang terkadang susah diikuti, namun menggigit. Banyak yang tinggal sebagai dokumen bersejarah, Banyak yang masih berlaku sampai sekarang. Atau faktanya baru diketahui, disadari “muncul” sekarang.

Sastra Jawa mengenal saloka (yaitu ungkapan yang memiliki makna kiasan dan mengandung perumpamaan pada subyek yang dikiaskan, misalnya kebo nusu gudel). Mempunyai bebasan (yaitu ungkapan yang memiliki makna kias dan mengandung perumpamaan pada keadaan yang dikiaskan, misalnya nabok nyilih tangan). Memberlakukan paribasan (yaitu ungkapan yang memiliki makna kias namun tidak mengandung perumpamaan, misalnya dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan).

Islam sebagai agama langit, mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lingkungan, menentukan, menetapkan dan memastikan hubungan manusia dengan Allah. Urusan dunia yang nampak ringan, sepele, kecil tak luput dari yang tersirat dan tersurat di Al Quran. Urusan akhirat sedemikan rinci, sistematis, berbagai alternatif yang tidak memberatkan hamba-Nya, dijelaskan. jika umat Islam masih terbata-bata menafsirkan makna kandungan, firman-Nya, dibantu dengan Sunnah Rasul atau Hadist.

Tujuan perumpamaan dalam Al Quran dijelaskan melalui berbagai surah dan ayatnya. Berbagai perumpamaan jika kita simak, terkait tentang perkara keji, kufur dan menyekutukan Allah, kemunafikan, amal orang kafir, ingkar janji, kampung yang ingkar akan nikmat Allah, mengumpat, perkataan buruk, serta tentang Allah, iman, ilmu Allah, cahaya Allah, nikmat surga, kebangkitan, kehidupan dunia, hubungan perkawinan, masyarakat Islam, nafkah dan amal kebaikan, perkataan baik.

Terkait perkara keji, betapa Allah berfirman, kita simak di [QS Al Hajj (22) : 73] : “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.”

Kejadian faktual, aktual dan nyata terang-benderang di depan mata, kita seolah tak melihat. Kita tak tanggap, kurang peka, tak ambil perduli atau bersikap masa bodoh. Acuh tak acuh, kalau bereaksi takut jadi saksi. Takut dilibatkan dengan urusan yang tak jelas ujung pangkalnya. Takut stigma pahlawan kesiangan.

Kabut asap malah dipolitisir, menjadi wacana politik, tidak disikapi secara dewasa, cerdas dan bermanfaat bagai kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Menjadi perdebatan para ahli debat. Saling berbantah untuk menunjuk siapa yang layak jadi ‘kambing hitam’. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar