Halaman

Sabtu, 28 November 2015

Memantapkan Peran Dan Interaksi PNS Dengan Pemerintah

Memantapkan Peran Dan Interaksi PNS Dengan Pemerintah


Ikatan Islam
Diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah SAW bersabda :
Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan Islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR Ahmad)

PNS sebagai mata rantai dan rangkaian gerbong Pemerintah (Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 [UU 32/2004 tentang “PEMERINTAHAN DAERAH”]) mempunyai tanggung jawab moral 24 jam, dan sebagai makhluk relijius, menyandang legitimasi moral yang akan menghadapi berbagai tantangan dan kenyataan hidup di luar jangkauan nalar bahkan bisa bersifat dilematis.

Kesatuan dan persatuan PNS selama ini tak bisa lepas dari sistem pemerintahan. Di zaman Orde Baru, PNS mehgalami proses kuningisasi secara sistematis, masif dan terstruktur. Di era Reformasi dengan adanya penempatan pembantu presiden dari berbagai warna parpol bisa memberikan dinamika tersendiri. Syariat memerintahkan agar segenap manusia menjaga persatuan dan kesatuan di bawah pemerintahnya

Pemerintah dalam sistem demokrasi, berkewajiban dalam mengatur urusan dunia atau urusan umum bagi seluruh anak bangsa, sekaligus menjalankan urusan akhirat atau urusan khusus bagi penduduknya.  Dampak untuk menjaga keseimbangan tersebut, membuat rakyatnya rela dan mencintainya dengan menjaga agar selalu sesuai dengan syariat. Rasulullah SAW bersabda :
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian mencintainya dan mereka pun mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Adapun sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan mereka pun membenci kalian, kalian mencela mereka dan mereka pun mencela kalian.” (HR. Muslim)

Kedudukan pemerintah dalam Islam sangat agung. Bahkan, termasuk anugerah yang Allah SWT tetapkan untuk manusia. Allah SWT, sebagaimana sebagian terjemahan [QS Al Baqarah (2) : 251] :
Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam”.

Jika Allah SWT tidak menetapkan adanya pemerintahan di muka bumi, sudah  pasti manusia akan saling mengalahkan. Kehidupan dan berbagai urusan mereka pun akan menjadi kacau dan keadaannya menjadi tak menentu.

Asas Taat
Penduduk yang bisa tampil di layar kaca, dengan asas kebebasan untuk menyatakan pendapat, tanpa malu dan bangga mengkritisi kebijakan dan kinerja pemerintah, bahkan menuntut SBY-Boediono turun. Jumlahnya bisa banyak, dari kalangan kampus yang melek politik sampai kelompok kampung yang buta politik.

Para tukang unjuk raga dan unjuk rasa di jalanan yang menuntut SBY-Boediono turun di masa jabatannya, atau turun di tengah jalan, secara tak langsung menunjukkan dirinya masuk kategori golongan tidak berakal. Minimal buta hukum. Diperparah jika aksi berjalan dengan anarkis.

Ironis, umat Islam, secara individu atau penganut asas kebebasan untuk berorganisasi, mengenakan atribut kebesaran kelompok tampil habis-habisan ikut  arus inkonstitusional dengan tema anti pemerintah.

PNS bukannya buta hukum, bukan pula tidak peka, peduli dan tanggap serta prihatin atas keadaan dan kondisi negara. Bukannya pangku tangan saja melihat perkembangan zaman yang memposisikan dan memojokkan Indonesia tidak mempunyai posisi tawar, bahkan di tingkat ASEAN.

PNS wajib sedikit menengok ke belakang, ada apa dan bagaimana menyikapi pemerintah, sebagaimana terjemahan [QS An Nisaa’ (4) : 59] :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Kita pakai pengertian ulil amri adalah umara (pimpinan pemerintahan) bersama ulama (pemimpin agama). Pemimpin agama bisa bersifat formal, melalui pemilihan, mempunyai periode waktu jabatan, atau ulama sebagai individu karena ketokohannya menjadi panutan.

Realita di era Reformasi, pemimpin formal organisasi keagamaan (misal Muhammadiyah), memilih kutub berseberangan dengan pemerintah tetapi sekaligus mengharapkan jabatan presiden. Partai politik Islam dalam mewujudkan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi umat, masih sebatas di visi dan misi di atas kertas.

Kewajiban PNS Sebagai Rakyat
Hubungan antar umat Islam, bentuk kerja sama yang saling menguntungkan atau asas memberi dan menerima, bahkan untuk urusan akhirat sudah diatur dalam Al-Qur’an dan dirinci, dimantapkan lebih lanjut melalui Hadist. Keterikatan hati antar umat Islam, akan lebih bermakna dengan ukhuwah. Sebagai contoh, kita simak sebagian terjemahan [QS Al Maa’idah (2) : 5] :
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.

PNS sebagai rakyat terikat secara moral dengan batas geografis, untuk menghasilkan sinergitas, harus memasuki kuadaran kuat-optimis, seperti   terjemahan [QS Ali ‘Imran (3) : 139] :
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”.

Kontribusi PNS dalam berbangsa dan bernegara, tidak sekedar mengandalkan jumlah. Sebagai dinamisator dan katalisator dalam pembangunan nasional, harus mempunyai posisi yang menentukan. Dari sahabat Abu Hurairah, bersabda Rasulullah saw :"Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan”. (HR Muslim Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin).

 Tinggal bagaimana PNS mengelola potensi diri.

Kebebasan Sipil
Ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan utama PNS sebagai makhluk sosial adalah antara kiprah dan kinerja di kantor dengan kontribusi dan peran serta dalam bermasyarakat di tempat tinggalnya. Efek berantai ataupun efek domino Reformasi adalah Kebebasan Sipil yang kebablasan.

Salah satu unsur untuk menjadi negara demokratis adalah adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan untuk berorganisasi, atau yang dikenal sebagai Kebebasan Sipil (Civil Lliberties). Tingkat Kebebasan Sipil bersama Hak-hak Politik (Politic Rights) dan Lembaga-lembaga Demokrasi (Institutions of Democracy) bisa diukur dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).

Pada kontek IDI, kebebasan sipil dibatasi pada kebebasan individu dan kelompok yang berkaitan erat dengan kekuasaan Negara dan atau kelompok masyarakat tertentu, dengan Variabel kebebasan sipil sebagai berikut :1) Kebebasan Berkumpul dan Berserikat, 2) Kebebasan berpendapat, 3) Kebebasan berkeyakinan, 4) Kebebasan dari diskriminasi. Term “Kebebasan berkeyakinan” dan “Kebebasan dari diskriminasi” tidak termasuk sub unsur negara demokratis.

IDI 2010 mengalami penurunan akibat meningkatnya eskalasi kekerasan dan perlakuan tak adil terhadap kelompok tertentu, demikian hasil laporan dari Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) bekerja sama dengan sejumlah lembaga pemerintah. IDI 2010 (dirilis Desember 2012) sebesar 63,17%, menurun dari 67,30% pada 2009.

Penurunan pada indikator Kebebasan Sipil 82,53% pada 2010 (menurun,  86,97% di 2009). Indikator Hak-Hak Politik 47,87% pada 2010 (menurun,  54,60% di 2009). Peningkatan pada Lembaga Demokrasi 63,11% di 2010 (naik, 62,72% di 2009). Penghitungan IDI membutuhkan waktu yang panjang, sehingga yang bisa diukur adalah data pada 2009 dan 2010. Untuk 2011 masih diproses, sedang 2012 masih berjalan.

Penurunan IDI bukan berarti Indonesia menjadi atau mengarah ke rezim yang antidemokratik. Penurunan ini, yang disumbang terutama oleh angka-angka Kebebasan SIpil dan Hak-hak Politik, terutama disebabkan oleh tuntutan masyarakat yang lebih tinggi terhadap kinerja pemerintah. [HaeN] 14april2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar