kubujuk Indonesia agar mau bersatu
Haluan, aliran, platform politik
(partai-partai politik) Nusantara yaitu memandang ‘lawan politik’ sebagai musuh, seteru yang
harus dilibas hidup-hidup, ditebas mentah-mentah, ditindas sampai tak berampas
senyawapun, maupun digilas sampai anak cucu. Minimal dimatikan perjalanan
hidupnya, dikebiri masa depannya. Politik menjadi panglima, bahkan lebih
dahsyat daripada saat melawan penjajah. Politik menjadi pandangan hidup,
pegangan hidup, perjuangan hidup dan susah hidup (sudah loyo, tak mau bangkit).
Zaman Orde Baru, pihak yang mendapat
stigma anti kemapanan, anti Pancasila, dikategorikan sebagai gerakan separatis.
Daerah yang membangkang atau tidak mau melaksanakan program nasional ‘kuningisasi’
secara utuh dan nyata, dianggap akan merdeka atau memisahkan diri dari NKRI.
Menurut KBBI :
separatis
/séparatis/ n orang (golongan) yg menghendaki
pemisahan diri dr suatu persatuan;
separatisme
/séparatisme/ n paham atau gerakan untuk memisahkan
diri.
Sedemikian kita yakin, bahwa konflik horizontal antar elemen masyarakat,
antar komponen bangsa, antar strata sosial rakyat bisa mengarah dan menjurus
kepada perpecahan nasional.
Bahwasanya, kita tak menyadari kalau
alat pemecah bangsa dan negara justru dimulai maupun dari atas.
Bahwasanya, justru karena konflik antar
penyelenggara negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) menjadi titik retak
bangsa dan negara. Titik retak dimulai dari dalam, menyebabkan keropos dari
dalam.
Bahwasanya, manajemen konflik bersifat
seremonial. Kegaduhan politik sesuai skenario pihak tertentu yang merupakan
ekses parpol tidak siap menang di pesta demokrasi.
Bahwasanya, para pelaku politik
memposisikan ‘lawan politik’ sedemikian rupa sehingga mengkorbankan kepentingan
rakyat. Selama lima tahun emosi rakyat diaduk dan diudak, diacak-acak.
Seolah kita hanya menunggu waktu dan
selalu berharap datangnya ‘Satria Piningit’. Padahal, yang menetukan nasib
bangsa dan negara adalah kita. Bersatu sebagai bangsa dan negara. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar