mencari format Politik Nasional,
politik kandang vs politik tandang
Saat membuka cepat halaman Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional,
2008, melacak laman “nasional” dan penggunaannya. Saya cuplik beberapa :
nasional a bersifat kebangsaan; berkenaan atau
berasal dr bangsa sendiri; meliputi
suatu bangsa;
nasionalis n pencinta
nusa dan bangsa sendiri; orang yg memperjuangkan kepentingan bangsanya.
nasionalisme n paham
(ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; politik untuk membela
pemerintahan sendiri; sifat kenasionalan
autorki n swasembada
ekonomi nasional
autarki n kedaulatan mutlak, baik dl pemerintahan maupun
ekonomi dng menetapkan suatu kebijaksanaan nasional yg menghindarkan
ketergantungan kpd negara lain.
Setiap tanggal 20 Mei bangsa dan rakyat Indonesia memperingati dan
mengenang kejadian yang disebut “Kebangkitan Nasional”. 21 Mei 2008 sebagai
cikal bakal berdirinya wadah perjuangan dengan asas persatuan dan kebersamaan.
Perjuangan tidak sebatas idiologi. Wadah juang yang kini disebut partai
politik.
28 Oktober 1928 Sumpah Pemuda, sebagai awal kiprah para pelaku kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Langkah preventif dan antisipatif
sekaligus prospektus untuk mengisi masa depan dengan kondisi masa kini.
Zaman Orde Lama, parpol yang ada dibedakan oleh Bung Karno sesuai kemasan
dan labelnya, yaitu ‘Nasakom’ (nasional, agama, dan komunis). Partai
Komunis Indonesia (PKI), sesuai catataan dan bukti sejarah telah dua kali
menikam bangsa dan rakyat Indonesia dari dalam. Pemberontakan PKI yang pertama
pada tanggal 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur (dikenal dengan sebutan
Madiun Affairs). Peristiwa Lubang Buaya, Jakarta dan Kentungan, Yogyakarta
dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September 1965, sebagai pemberontakan PKI
untuk kedua kalinya.
Penyederhaan jumlah
parpol di zaman Orde Baru ditetapkan berdasarkan UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.
Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai
Demokrasi Indonesia atau PDI dan satu Golongan Karya atau Golkar.Jadi dalam 5
kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya
tiga tadi. Tepatnya terdapat ‘nasapem’ (nasional, agama dan partai pemerintah).
21 Mei 1998, hari lengser keprabon Suharto sebagai RI-1 kedua,
digantikan oleh wakil presiden. Perliombaan mendirikan partai dimulai, bukan
sebagai syarat demokrasi, tapi agar bisa mengikuti Pesta Demokrasi. Jadi, bukan
atas kebutuhan perjuangan bangsa dan negara, kebutuhan nasional. Banyak oknum
anak bangsa merasa bisa memimpin bangsa dan negara.
‘Nasapem’ membelah diri menjadi berbagai parpol.
Singkat kata, format ‘politik nasional’ menjadi semakin jauh dari
harapan. Bahkan di atas kertaspun sulit diformulasikan, susah dijabarkan, pelik
dijabarkan, muskil dirumuskan secara akademis. Hebatnya, terdapat benang merah
antar semua parpol yaitu merebut kekuasaan secara konstitusional, secara legal
dan sah menurut hukum. Mereka mempunyai satu tujuan utama yaitu meraih berhala
Reformasi 3K (Kuasa, Kuat, Kaya).
Parpol pengusung Jokowi-JK mendirikan KIH dan sisanya yang memilh
Prabowo-Hatta menegakkan KMP. KIH dan KMP berseteru dan bersatu di legislatif.
Terbaca ‘politik nasional’ menjadi politik dalam negeri atau politik kandang
serta politik luar negeri atau politik tandang. Memang politik bisa diibaratkan
dengan sepak bola. Atau lebih parah, karena ada jargon ‘lobi’, ‘blusukan’.
Bukan berarti nasib 2014-2019 seperti nasib PSSI yang mempunyai penyakit
bawaan, penyakit turunan yang kebal terhadap 1001 macam/jenis obat.
Kapan kita bisa mewujudkan negara berbasis ‘autorki’ dan ‘autarki’.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar