Halaman

Minggu, 15 November 2015

mencari format Politik Nasional, politik kandang vs politik tandang

mencari format Politik Nasional, politik kandang vs politik tandang

Saat membuka cepat halaman Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, 2008, melacak laman “nasional” dan penggunaannya. Saya cuplik beberapa :

nasional a bersifat kebangsaan; berkenaan atau berasal dr bangsa sendiri; meliputi
suatu bangsa;
nasionalis n pencinta nusa dan bangsa sendiri; orang yg memperjuangkan kepentingan bangsanya.
nasionalisme n paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; politik untuk membela pemerintahan sendiri; sifat kenasionalan
autorki n swasembada ekonomi nasional
autarki n kedaulatan mutlak, baik dl pemerintahan maupun ekonomi dng menetapkan suatu kebijaksanaan nasional yg menghindarkan ketergantungan kpd negara lain.

Setiap tanggal 20 Mei bangsa dan rakyat Indonesia memperingati dan mengenang kejadian yang disebut “Kebangkitan Nasional”. 21 Mei 2008 sebagai cikal bakal berdirinya wadah perjuangan dengan asas persatuan dan kebersamaan. Perjuangan tidak sebatas idiologi. Wadah juang yang kini disebut partai politik.

28 Oktober 1928 Sumpah Pemuda, sebagai awal kiprah para pelaku kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Langkah preventif dan antisipatif sekaligus prospektus untuk mengisi masa depan dengan kondisi masa kini.

Zaman Orde Lama, parpol yang ada dibedakan oleh Bung Karno sesuai kemasan dan labelnya, yaitu ‘Nasakom’ (nasional, agama, dan komunis). Partai Komunis Indonesia (PKI), sesuai catataan dan bukti sejarah telah dua kali menikam bangsa dan rakyat Indonesia dari dalam. Pemberontakan PKI yang pertama pada tanggal 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur (dikenal dengan sebutan Madiun Affairs). Peristiwa Lubang Buaya, Jakarta dan Kentungan, Yogyakarta dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September 1965, sebagai pemberontakan PKI untuk kedua kalinya.

Penyederhaan jumlah parpol di zaman Orde Baru ditetapkan berdasarkan UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI dan satu Golongan Karya atau Golkar.Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi. Tepatnya terdapat ‘nasapem’ (nasional, agama dan partai pemerintah).

21 Mei 1998, hari lengser keprabon Suharto sebagai RI-1 kedua, digantikan oleh wakil presiden. Perliombaan mendirikan partai dimulai, bukan sebagai syarat demokrasi, tapi agar bisa mengikuti Pesta Demokrasi. Jadi, bukan atas kebutuhan perjuangan bangsa dan negara, kebutuhan nasional. Banyak oknum anak bangsa merasa bisa memimpin bangsa dan negara.

‘Nasapem’ membelah diri menjadi berbagai parpol.

Singkat kata, format ‘politik nasional’ menjadi semakin jauh dari harapan. Bahkan di atas kertaspun sulit diformulasikan, susah dijabarkan, pelik dijabarkan, muskil dirumuskan secara akademis. Hebatnya, terdapat benang merah antar semua parpol yaitu merebut kekuasaan secara konstitusional, secara legal dan sah menurut hukum. Mereka mempunyai satu tujuan utama yaitu meraih berhala Reformasi 3K (Kuasa, Kuat, Kaya).

Parpol pengusung Jokowi-JK mendirikan KIH dan sisanya yang memilh Prabowo-Hatta menegakkan KMP. KIH dan KMP berseteru dan bersatu di legislatif. Terbaca ‘politik nasional’ menjadi politik dalam negeri atau politik kandang serta politik luar negeri atau politik tandang. Memang politik bisa diibaratkan dengan sepak bola. Atau lebih parah, karena ada jargon ‘lobi’, ‘blusukan’.

Bukan berarti nasib 2014-2019 seperti nasib PSSI yang mempunyai penyakit bawaan, penyakit turunan yang kebal terhadap 1001 macam/jenis obat.

Kapan kita bisa mewujudkan negara berbasis ‘autorki’ dan ‘autarki’.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar